Alex duduk pada kursi kayu kecil di samping tempat tidurnya, termenung sendirian.
Ketika itu hampir subuh. Ia baru saja selesai mandi dan setelah memastikan rambutnya cukup kering, ia mendapati dirinya berdiri kebingungan di dalam kamar, tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya.
Biasanya, Alex tidak suka ada orang asing yang menyentuh tempat tidurnya, termasuk Lennard. Tapi hari itu berbeda. Dan ia melakukan hal yang seharusnya tidak boleh ia lakukan.
Seperti orang bodoh yang sedang dimabuk oleh kenangan cinta pertamanya, ia memapah Theo dari bar tempatnya bekerja tanpa memedulikan tatapan aneh orang-orang. Dan seakan tindakan itu belum cukup, di saat kedua kaki Theo semakin memberat, Alex akhirnya menggendong laki-laki yang lebih kecil darinya itu di punggungnya.
Ia begitu malu dan berkeringat, hingga menyingkirkan ide untuk meminjam kunci cadangan kamar Theo dari pemilik flat.
Di ruangan itu, dengan lampu yang masih menyala, Alex menatap tubuh Theo yang tidak bergerak. Hanya dadanya yang bergerak naik turun dengan ritme teratur. Ia seperti melihat kembali Theo yang dulu dalam tubuh seorang laki-laki yang sedang beranjak dewasa.
Tiba-tiba, Alex merasa bingung. Hatinya berkata bahwa ia melakukan hal yang benar, namun di saat yang bersamaan, ia juga menyadari konsekuensi atas tindakannya.
Membawa Theo masuk ke flatnya sama dengan membiarkan laki-laki itu perlahan-lahan masuk ke hatinya lagi, sama seperti dulu.
Ia agak membungkuk ke depan, mendekatkan wajahnya pada kepala Theo yang terkulai di atas bantal, menghadap ke arahnya. Bibir tipis Theo terbuka dengan celah kecil, pipinya memerah karena pengaruh alkohol dan seluruh wajahnya terasa hangat ketika Alex menangkupkan telapak tangannya di sana. Theo jelas terlihat jauh lebih muda dibandingkan usianya.
Mengabaikan punggungnya yang mulai kelu karena diam dalam posisi yang sama, Alex menyibakkan sejumput rambut yang jatuh ke kelopak mata Theo. Ia berandai-andai, seperti apa hari-hari yang dilalui Theo selama ini dan tanpa menutupi keinginannya, ia ingin menunggu dan melihat seterusnya, menjadi seperti apakah Theo nanti.
Lalu, kenyataan itu menghantam Alex.
'Sadarilah di mana tempatmu berada!'
Kalimat merendahkan yang akan selalu diingatnya seumur hidup itu mengingatkan Alex kembali akan statusnya.
Ingatan akan sepasang lengan kuat yang menghantamkan punggungnya ke dinding berbata yang dingin juga membuatnya waspada, agar ia tidak melangkah jauh melampaui batasnya.
Seseorang yang 'biasa' tidak seharusnya berbicara dengan 'bangsawan', seorang anak kecil tidak seharusnya memberikan nasihat kepada orang dewasa. Dan, seseorang seperti Alex tidak seharusnya terlena dan mendekati Theo lagi.Ia dan Theo berbeda. Tidak seperti dirinya yang sudah terlanjur jatuh, Theo masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan masa depan yang gemilang. Theo memiliki kemurnian dalam figurnya, sedangkan ia tidak.
Jari-jari Alex berhenti memberikan usapan lembut pada rambut Theo. Seakan takut membuat Theo menjadi kotor, ia menarik tangannya dan mendekapnya di dada. Ia kesulitan bernapas, bahkan untuk sekedar menelan ludah. Udara di sekelilingnya seakan terkuras habis.
Ketika matahari terbit nanti, Alex tidak tahu bagaimana harus menghadapi Theo.
Untuk beberapa jam lamanya, Alex terus berpikir dan belum menemukan jawabannya. Ia meraih bungkusan rokok di meja nakas tapi tidak menyalakannya, hanya memainkan benda tersebut di tangannya seperti permainan yang menarik.
Pada akhirnya, seluruh tubuh Alex menjadi kaku dan ia merasakan gerah yang luar biasa menyesakkan. Sewaktu jarum jam pendek melewati angka lima pagi, Alex bergegas bangkit dari duduknya dan mengambil handuk baru dari lemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Comes Along [G| Completed]
General FictionTheo Lee tidak memiliki banyak ingatan di masa kecil. Ketika ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, meninggal, Theo harus pergi ke Singapura untuk menemui seorang laki-laki bernama Alex Cheung sebagai permintaan terakhir dari ibunya. Alex Che...