Bab 8

3.9K 418 16
                                    

"Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control."
-anonymous-
.

Setelah enam bulan semenjak kepindahan Sophia Lee, Alex menulis surat pertamanya.

Dia menghabiskan banyak waktu, duduk di meja belajar, memikirkan kata demi kata yang dirangkai menjadi sebuah kalimat dan ditulisnya dengan hati-hati. Di sekitar kakinya, gumpalan-gumpalan kertas berserakan, ada yang hampir menumpuk seperti bukit. Dia mengerutkan kening dan membaca ulang suratnya, kemudian mengerang, meremas kertas putih tersebut tanpa ampun. Isi surat itu terlihat konyol.

Dan itu adalah surat kesekian yang Alex tulis dan buang di saat yang bersamaan. Menulis surat ternyata sulit. Dia ingin menyampaikan banyak hal pada Sophia dan Theo, tapi tidak tahu bagaimana caranya.

Dia merindukan Sophia. Dia merindukan Theo. Dia ingin bermain bersama Theo, membiarkan anak laki-laki itu mengikutinya ke mana saja sambil memegang ujung kausnya. Dia juga ingin duduk di pelukan hangat Sophia dan mendengar bagaimana wanita itu membisiki ucapan yang menenangkan dengan lembut. Dan terakhir, Alex ingin Theo tahu bahwa dia menyukai dan menyayanginya. Sangat. Dia ingin Theo menerima surat darinya, seperti yang dilakukan para gadis di kelasnya sewaktu menerima surat dari laki-laki.

Sewaktu mengambil selembar kertas baru dan bersiap akan menulis lagi, pintu kamarnya terbuka. Alex menoleh, melihat sepupunya masuk, duduk di tepi ranjang sambil membawa semangkuk berondong jagung.

"Kau sedang apa?" sepupunya bertanya, menjulurkan kepala ke arah meja belajar Alex.

Alex menutupi pandangan sepupunya dengan lengan. "Menulis surat," ujarnya. "Jangan mengganggu. Sana!" dia mengusir laki-laki itu dengan kibasan tangan.

"Menulis surat sampai membuang kertas sebanyak ini? Untuk siapa?"

"Bukan urusanmu."

"Ayolah, aku bisa membantu, kok. Apa yang membuatmu bingung? Begini-begini aku lumayan berpengalaman dalam hal menulis surat. Yah... terutama surat cinta," sepupunya terkekeh.

Alex berhenti menulis. Dia melirik sepupunya dari sudut mata dan senyum bodoh itu, lalu memutar bola mata. Dia sebenarnya tidak tertarik, namun sepupunya seperti bisa memberi harapan sekaligus pencerahan untuk otaknya yang buntu. "Aku menulis surat untuk seseorang," akunya.

"Pacarmu?"

"Bukan," sembur Alex. Dia berpikir beberapa saat, lalu berkata malu-malu, sambil membuang muka, "bukan pacarku. Tapi untuk orang yang sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri dan juga... orang yang aku sukai."

Sepupunya tersenyum miring. Dia meletakkan mangkuk berondong jagungnya di atas bantal, mengabaikan tatapan protes Alex dan duduk bertopang dagu di atas lutut. "Aku jadi bertanya-tanya gadis seperti apa yang menarik perhatianmu."

Pipi Alex merona. Dia terlihat bingung sesaat, seperti berpikir keras, lalu memutar kursinya ke arah ranjang. "Dia," suaranya gugup, "dia bukan perempuan."

Mendengar ucapan itu, sepupunya terhenyak. Matanya melebar dan mulutnya terbuka. "Apa?"

Alex menunduk. Tiba-tiba dia menjadi resah, mengetahui rahasia terdalam dari dirinya sudah diketahui orang lain. Tapi di satu sisi, Alex merasa lebih baik setelah bisa membagi rahasia itu, karena dia tahu sepupunya tidak pernah memandang orang lain dengan sebelah mata.

Seperti pada waktu mereka menonton film Brokeback Mountain, Alex berharap sepupunya akan memaklumi dirinya yang berbeda dan tidak menjauhinya. "Aku hanya mengatakan ini padamu."

When Love Comes Along [G| Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang