Meski bekas kemerahan di pipinya berangsur-angsur memudar, ngilu di tulang rahangnya belum mereda. Alex mengumpat dalam hati saat dia menyusuri jalan pulang malam itu.Seberapa besar kekuatan yang bisa dimiliki seorang wanita? Tamparan itu lebih mirip seperti pukulan telak yang diterima Alex sewaktu dia mengusir pemabuk yang berniat membuat onar di bar tempatnya bekerja setahun yang lalu. Hanya saja, kali ini sudut bibirnya tidak robek atau mengeluarkan darah.
Alex berdecak, ujung sepatunya terayun menuju batu kecil yang tepat berada di jalurnya, menyalurkan kejengkelan yang dia rasakan dalam satu tendangan kuat. Kerikil itu memantul-mantul di permukaan trotoar jalan, disusul helaan napas yang keluar dari bibir Alex. Tangannya naik untuk mengusap-usap pipinya.
Jika bertahun-tahun yang lalu dia akan menangis, melarikan diri dari rumah dan memikirkan apa kesalahannya, sekarang tidak lagi. Selain hatinya yang tumpul, dia tidak akan rela membuang air matanya untuk sesuatu yang tidak layak ditangisi.
Ibunya, orang tuanya... keluarganya.
Sudah berapa lama mereka tidak bertemu? Alex menghitung dalam hati dan gagal mengingat. Dan apa yang terjadi seperti yang sudah dia duga sebelumnya.
Ibunya masih berhati es. Jangankan mengharapkan sebuah pelukan, menanyakan kabarnya selama ini pun tidak. Mungkin wanita itu tidak akan peduli seperti apa hidup Alex, selama dia tidak mempermalukan nama keluarga mereka.
Ibunya memintanya untuk kembali. Hal yang tidak mungkin dilakukan Alex.
Ibunya memaksa agar dia kembali ke jalur yang benar dan mengencani seorang gadis.
Itu lebih mustahil lagi. Alex sudah mencobanya, tapi dia selalu gagal.
Alex membuang sisa puntung rokok ke bak sampah, melesat naik menuju flat dengan beban berat di pundak. Sepatu bot-nya mengeluarkan suara entakan di malam yang nyaris sunyi saat dia menaiki tangga. Beberapa lampu di sepanjang lorong flat selalu dibiarkan menyala, sisanya dimatikan setelah lewat tengah malam.
Waktu itu sudah dini hari, saat bagi semua orang untuk tidur dengan lelap dan beristirahat. Nyaris mencapai pukul dua pagi. Alex mengeluarkan kunci kamar dari saku jaket kulitnya, tidak sabar untuk melemparkan tubuhnya ke ranjang dan memejamkan mata.
Lalu, langkahnya terhenti.
Tepat di bawah lampu kuning di depan pintu flatnya, dia melihat seseorang duduk meringkuk. Alex tidak perlu mendekat untuk bisa mengenali siluet tersebut. Dia menghela napas ketika berjalan maju beberapa langkah secara perlahan-lahan, dan akhirnya berjongkok tepat di hadapan Theo yang menekuk tubuhnya hingga nyaris menyerupai bulatan.
Kenapa Theo berada di sana? Ada puluhan pertanyaan dan ketidakpastian berlalu lalang di kepala Alex.
"Apa-apaan dia?"
Alex bersuara setelah lama mengamati Theo dalam diam. Setengah tak habis pikir, setengah lagi merasa tersentuh dan bingung. Dia mengulurkan tangan, mengetuk puncak kepala Theo dengan jari telunjuknya.
Satu ketukan ringan, laki-laki itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun.
Satu ketukan yang agak keras, laki-laki itu mengerang dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dengan suara serak.
Alex tersenyum sedikit, menahan tawa. Hanya sedikit, karena sewaktu Theo mulai bergerak dan menggeliat, dia langsung berdiri, berusaha terlihat jika dia baru saja tiba di sana. Kaki kanannya menyenggol bagian samping tubuh Theo.
"Hei," dia memanggil, "jangan tidur di depan pintu orang lain."
Wajah mengantuk Theo muncul di antara kedua lututnya. Dengan pandangan sayu, dia melihat Alex, lalu menggosok kedua matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Comes Along [G| Completed]
General FictionTheo Lee tidak memiliki banyak ingatan di masa kecil. Ketika ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, meninggal, Theo harus pergi ke Singapura untuk menemui seorang laki-laki bernama Alex Cheung sebagai permintaan terakhir dari ibunya. Alex Che...