Bab 5

5.3K 537 23
                                    

Sewaktu Alex berhasil tiba di sana dengan dada terengah, wanita berwajah keibuan yang selalu menyambutnya dari balik pagar dengan senyum lebar tidak tampak siang itu. Dengan kening berkerut heran setelah mengatur napas, ia berjinjit, mengintip ke dalam rumah.

Baju-baju di tali jemuran belum diangkat, daun-daun kering yang rontok di sepanjang pekarangan juga belum disapu, tetapi tanah disekitarnya basah, mengeluarkan bau lembap yang khas. Matanya menelusur lebih jauh. Di dekat sumur, seorang anak laki-laki sedang mengambil air dengan ember, bersusah payah menarik tali yang terhubung melalui katrol sekuat tenaga dengan tangannya yang mungil.

Alex berdeham setelah mengamati dalam diam. Suaranya mengagetkan si anak laki-laki. Ember yang dipeluknya terlepas, jatuh ke bawah. Airnya berpercikan ke mana-mana, membasahi kaki si anak laki-laki yang sekarang mendongak ke arah pagar dengan mata melebar.

"Oh, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu terkejut," Alex meminta maaf, melihat sepasang mata paling bulat yang pernah ia lihat terbelalak menatapnya. Ia mengamati bagaimana pandangan itu berubah dari terkejut, menjadi curiga, lalu menjadi takut-takut.

Selain rambut dan hidung, semua yang ada di wajah anak laki-laki itu--terutama matanya-- mengingatkan Alex pada Bibi Lee. Mata yang ramah dan berkilat-kilat, seperti ada bintang di dalamnya. Alex belum pernah bertemu dengan anak laki-laki itu sebelumnya, tetapi entah bagaimana, ia seperti sudah mengenalnya melalui cerita-cerita Bibi Lee.

Bibirnya terbuka, menampakkan deretan gigi yang putih dan rapi ketika Alex menyeringai, menumpukan kedua tangannya di atas pagar dan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Theo, kan?" katanya ramah, memulai percakapan.

Dan anak laki-laki itu tersekat, persis seperti perkiraan Alex. Ia mendekap embernya, seolah hidupnya bergantung di sana. "Bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.

"Bibi Lee sering bercerita tentangmu," Alex menatap ke dalam rumah lagi, tidak memperhatikan bagaimana Theo meniliknya dengan lekat sedari awal. "Dia pergi ke mana?"

Anak laki-laki itu membulatkan mata lagi, kemudian dalam sekejap menggelengkan kepalanya keras. "Aku tidak bisa memberitahumu," cicitnya dengan kepala ditegakkan, berusaha tampak berani dengan menaruh embernya ke tanah dan bersedekap.

Bicaranya agak cadel, tetapi suara itu manis dan lembut. Dan Alex membayangkan seperti apa suara tawanya.

"Aku tidak boleh sembarangan berbicara dengan orang asing, itu kata mama."

Alex mengangkat satu alis, menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan tawa. "Tetapi aku bukan orang asing. Aku mengenal baik ibumu," ujarnya. "Kau tidak pernah mendengar nama Alex Cheung?"

"... sepertinya aku pernah dengar." Anak laki-laki itu mengerutkan kening, tampak mengingat-ingat. Ia mendekat ke pagar ragu-ragu, mengamati penampilan Alex dari atas ke bawah dengan ekspresi menilai yang lugu. "Mama dulu bekerja di keluarga Chung."

"Cheung," Alex mengoreksi. Ia membuka mulut dan hendak berbicara, tetapi melihat Theo melihatnya dengan pandangan ingin tahu, ia mengurungkan niat. Alih-alih, Alex mendongak, melihat langit biru tanpa awan dan matahari di atasnya bersinar terik. "Boleh aku masuk dan menunggu di dalam?" katanya, seraya mengipasi mukanya dengan tangan.

Bola mata Theo bergerak-gerak gelisah, berpendar dari kiri ke kanan. Jalan di pemukiman siang itu lenggang. Yang terdengar hanya suara embusan angin dan kicau burung-burung kecil, seperti suasana di tepi desa. Semua tetangganya adalah pekerja kantoran jadi tidak ada seorang pun yang tinggal di rumah kecuali para pengurus.

When Love Comes Along [G| Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang