Saat terbangun, Theo butuh beberapa detik untuk mengenali sekelilingnya. Dan setelah matanya terbuka, dia memicingkannya lagi. Ruangan temaram yang lebih rapi dan bersih jika dibandingkan dengan flat-nya sendiri itu menimbulkan kerutan samar bermunculan di dahinya.
Cahaya dari layar televisi yang pertama kali menangkap perhatian Theo, kemudian sofa tempatnya tertidur, dan pada akhirnya Alex yang duduk tepat di sebelahnya, terkatung-katung sambil meminum kopi. Harum yang khas itu merebak di seluruh ruangan, perlahan-lahan mengumpulkan kesadaran Theo sebelum dia bangun dan mengayunkan kaki turun dari sofa.
Masih sambil duduk, Theo mengerang pelan, mengusap-usap bagian belakang pundaknya yang agak kaku setelah dia membungkus tubuhnya dengan selimut. Dia bahkan tidak perlu bertanya lagi darimana datangnya selimut itu. "Terima kasih," katanya pada Alex.
Alex bergeming sedikit. Matanya yang tidak fokus pada layar televisi bergerak melirik Theo. "Aku mencoba membangunkanmu," ujarnya, "tapi tidak berhasil."
"Jangan khawatir," Theo mendesah untuk menyembunyikan malu, "memang tidak mudah membangunkan aku."
"Aku tahu."
Theo menoleh. "Kau tahu?"
"Aku tahu," ulang Alex, menegaskan perkataannya. Dia nyaris terlihat sedang menahan tawa. "Kau tidur seperti orang mati. Ini bahkan bukan yang pertama kali."
Diselimuti kebingungan, Theo menelengkan kepala. "Bagaimana bisa?"
"Dulu aku sering menjagamu, kalau kau masih ingat." Alex mengedikkan bahu sebelum berpaling dari Theo dan kembali melihat layar televisi yang menampilkan siaran ulang pertandingan sepak bola. Ekspresinya datar tanpa ketertarikan sedikit pun pada acara yang sedang ditontonnya.
"Aku tidak ingat," Theo meringis, lantas mendesah pelan. "Tapi aku harap aku bisa mengingatnya. Ibu bilang kau sangat sabar dalam menghadapi aku."
"Ibumu benar."
Alex tidak tersenyum, namun Theo menangkap gerakan samar di sudut bibir laki-laki itu. Sinar terang yang berpendar dari televisi menerangi separuh wajah Alex.
Tertawa kecil, Theo menggelengkan kepala, berandai-andai dan mencoba memikirkan Alex yang penyabar dalam bentuk imajiner dalam benaknya. Alex yang sekarang tidak akan sesuai, tapi Alex berambut gelap dan bermata teduh tujuh tahun yang lalu memiliki gambaran yang tepat.
"Aku jadi membayangkan seperti apa kau dulunya," ucap Theo di saat tawanya mereda. "Apakah aku nakal dan merepotkan?"
"Tidak." Alex berpikir sejenak, tampak mengingat-ingat. "... kau lugu dan penuh rasa ingin tahu," lanjutnya.
"Sungguh?"
"Aktif dan tidak bisa diam, selalu mengikutiku ke mana-mana. Kalau kau sedang tidur siang, kakimu akan menjepit dan mengunci kakiku," Alex menengadah sesaat ketika dia mengenang masa kecilnya bersama Theo.
"Kau juga suka memegang ujung bajuku, jadi aku tidak bisa bergerak, apalagi bangun karena khawatir kau akan ikut terbangun."
"Aku masih kecil waktu itu," Theo nyengir, membela diri. Dia ingat ibunya selalu mengeluhkan kebiasaannya yang satu itu. "Aku hanya takut ditinggal sendiri."
"Yah, kau masih sangat kecil," Alex membenarkan. 'Kau baik dan memiliki hati yang hangat. Kau berbeda dari semua orang yang kutemui. Kau cukup tersenyum dan aku merasa segalanya akan menjadi baik-baik saja.'
Tapi dia tidak mengatakannya. Alih-alih, Alex menatap lekat layar televisi di hadapannya dan membiarkan keheningan melingkupi mereka. Hanya setelah beberapa menit terlewati, dia akhirnya menegakkan punggung dan bertanya pada Theo. "Kau butuh kopi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Comes Along [G| Completed]
General FictionTheo Lee tidak memiliki banyak ingatan di masa kecil. Ketika ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, meninggal, Theo harus pergi ke Singapura untuk menemui seorang laki-laki bernama Alex Cheung sebagai permintaan terakhir dari ibunya. Alex Che...