Epilog

4.6K 328 36
                                    

Theo menutup buku tebal yang semenjak tadi terbuka di atas pangkuannya. Setiap lembaran dari kamus itu sudah kusut dan berbekas lipatan karena dia terlalu sering membukanya beberapa bulan terakhir ini.

Dia mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya yang terasa berat, menoleh saat sekelompok orang melintas dengan derap langkah berat dan gelak tawa keras. Mengerutkan kening, dia menarik ujung lengan blazer-nya, menatap jarum panjang jam yang bergerak pelan sementara jarum yang lebih pendek nyaris mencapai angka lima.

Masih tersisa dua jam lagi. Theo duduk termangu beberapa saat, merasakan letih dan kantuk menderanya bertubi-tubi, namun tidak membiarkannya untuk memejamkan mata barang sedetik pun. Di atas meja, ada tumpukan majalah, brosur perjalanan yang dipenuhi catatan-catatan kecil serta cangkir kopi dan piring berisi kue yang hanya disentuh sedikit.

Theo menghela napas, mengambil kembali kamus yang tadi sempat dia singkirkan, dan mulai membaca halaman yang dia tandai, larut bersama sayup-sayup lagu Karen Souza yang sedang diputar.

Matanya terpaku pada susunan kata asing, sementara pikirannya perlahan-lahan teralihkan.

Dalam beberapa hal-dia menyadari dan berhenti membaca, Alex tidak sepenuhnya benar.

Kesibukan tidak membuat hari-harinya berlalu cepat, melainkan bergerak secara lambat. Meski dia sudah terbiasa menunggu segalanya sejak kecil, menunggu tanpa adanya kepastian adalah hal yang menyebalkan. Tetapi sekarang, ketika dia berada di tempat ini dan menoleh ke belakang, Theo tidak bisa memungkiri bahwa Alex benar. Waktu memang bergulir cepat.

Dan setelah tiga tahun memikirkannya, Theo baru mengerti.
Bagi sebagian orang, mereka tidak bisa memilih dengan siapa mereka akan jatuh cinta. Theo juga tidak bisa memilih. Hanya saja, dalam kasusnya, Theo merasa masalahnya bukan pada orientasi seksualnya.

Alex bilang tidak ada sesuatu yang pasti. Walaupun Theo masih belum mendapatkan jawaban yang pasti atas perasaannya hingga saat ini, dia meyakini satu hal.

Apabila dia memang menyukai Alex, itu bukan karena Alex adalah seorang laki-laki.

Theo menyukainya karena dia adalah Alex.

Itulah perbedaan terbesar antara dia dan orang lain. Satu pegangan yang membuatnya mampu mengambil keputusan terbesar dan terberani dalam hidupnya.

"Kau tetap di sini?"

Suara berat itu membuyarkan lamunan Theo.

Dia menengadahkan kepala, melihat seorang laki-laki berambut cepak berdiri di depannya sambil membenahi dasinya yang kusut.

Si brunet yang menjadi teman berbincangnya tadi pagi dan secara kebetulan akan menjadi teman duduknya juga.

Theo bahkan tidak tahu sejak kapan laki-laki itu sudah terbangun dari tidur nyenyaknya di sofa lounge.

"Aku akan ke sana sebentar lagi," sahut Theo.

"Oke, aku duluan," laki-laki itu menggerakkan lehernya yang kaku dan berhenti melangkah sewaktu melewati Theo. "Hei, apa ini milikmu?" tanyanya, mengulurkan secarik kertas yang dipungutnya dari lantai di dekat kaki meja.

Theo terpekur. Dia menerima kertas itu, menggumamkan terima kasih, dan memandanginya lama. Tulisannya mulai memudar dan tampak seperti kertas usang yang tidak terpakai. Theo lupa kapan terakhir kali dia membaca isinya meski dia selalu menyimpan kertas tersebut di antara buku yang paling sering dibacanya.

Bila tiga tahun yang lalu dia akan memasang ekspresi muram, kali ini Theo ingin tertawa. Dia memasukkan semua barang-barangnya ke tas dan beranjak dari meja.

Theo melangkahkan kaki menuju gerbang keberangkatan yang tertera di boarding pass-nya. Di antara leburan orang-orang yang berlalu lalang dan memadati area keberangkatan bandara Heatrow, dia berhenti sebentar. Matanya memandang ke luar jendela kaca yang berlatarkan landasan dengan pesawat-pesawat yang berjejer rapi.

Tanpa bisa dicegah, dia bertanya-tanya, seperti apa hidup yang akan dijalaninya di Berlin sebentar lagi.

Dia membayangkan seperti apa rasanya menempuh perjalanan dari Berlin menuju Paris selama delapan jam di setiap akhir minggu.

Dia memikirkan apa yang harus dia lakukan ketika dia bertemu Alex secara langsung.

Dia merenungkan kalimat yang sudah ada di dalam hatinya sejak lama tetapi tidak pernah dia sampaikan.

Dan sekarang... mungkin saja dia sedang mempersiapkan hatinya untuk mengatakannya nanti.
.
.
.
.
.
a/n : Thank you for all the support and love you have given to me.

When Love Comes Along [G| Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang