Silver Garden.
Theo pikir dia tidak akan memiliki alasan tersendiri untuk kembali ke restoran bernuansa taman yang pernah didatanginya sekali itu.
Matahari bersinar tinggi di atas langit dan Theo memicingkan mata, melihat takjub tempat parkir di samping restoran yang penuh dengan mobil-mobil mewah.
Saat itu sedang jam makan siang. Dari balik jendela-jendela kaca besar yang membentang mengelilingi bangunan utama restoran, meja-meja nyaris penuh diisi oleh pengunjung. Mulai dari pegawai kantor yang kelihatan cukup mapan, pasangan muda atau keluarga kaya yang berpakaian anggun dan berkelas. Tidak mengherankan bila tempat makan di pusat kota Singapura itu ramai diserbu orang-orang berkantung tebal.
Namun, Theo menangkap sesuatu yang berbeda dari tempat tersebut.
Rangkaian bunga putih diatur di sepanjang jalan yang mengarah ke pintu depan, pita lembut berbahan sutra tipis melilit di antara ranting-ranting pohon, dan gulungan kabel lampu kristal di setiap sudut kebun, serta beberapa pegawai restoran yang berlalu lalang membawa kardus-kardus besar.
Theo berkedip, mengenali salah seorang di antara mereka yang berdiri dan berdiskusi di depan pintu masuk.
Laki-laki itu memiliki rambut mencolok dan mengenakan pakaian yang berbeda. Tidak terlalu rapi dan formal seperti biasa, tetapi mempesona.
Memandangi punggung maskulin laki-laki itu, dengan sepatu hitam mengkilat, ikat pinggang kulit, dan dasi berwarna kontras untuk kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku, Theo mendapati perutnya seperti teraduk-aduk.
Dia tidak bisa berhenti memandangi laki-laki itu meski dia berusaha mengalihkan perhatiannya.
Setiap kali berada di bawah terpaan sinar matahari, rambut pirang itu akan berubah pucat, nyaris seputih salju. Otot lengan itu juga menjadi tampak lebih jelas sewaktu laki-laki itu menjangkau lampu-lampu kecil dan memasangkannya di tepi kusen jendela atas.
Kemudian, wajah serius itu….
Theo menelan ludah, menyaksikan bagaimana Alex berbalik menghadap ke arahnya dalam satu entakan pelan. Ekspresi Alex berubah dari serius, menjadi agak terkejut, kemudian sorot matanya menjadi lebih teduh. Bibirnya membentuk seutas garis tipis.
"Halo Alex."
Itu suara Tiffany. Perempuan itu menyisipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga dan memasang senyum termanis dan tercerah yang pernah Theo lihat saat menghampiri Alex.
Pandangan Alex jatuh pada Tiffany sesaat, sebelum kembali pada Theo. "Kau datang," sapanya.
"Bersama teman-temanku," Tiffany menggerakkan dagunya ke belakang, masih tersenyum.
"Senang melihatmu," ujar Alex.
Theo memalingkan muka ke samping, menghindari tatapan Alex dengan wajah membara. Dengan pandangan lekat yang laki-laki itu layangkan ke arahnya, ucapan itu terdengar lebih ditujukan pada dirinya, bukan Tiffany.
"Suasananya agak berbeda," komentar Tiffany setelah dia melihat sekeliling. "Apakah baru saja ada acara penting atau semacamnya?"
"Restoran ini akan digunakan untuk acara pertunangan besok. Kami sibuk mempersiapkan semuanya sejak tadi." Alex menggeser tubuhnya dan membukakan pintu. "Meja di dalam atau di teras belakang?" tawarnya.
Selagi Tiffany mempertimbangkan dua pilihan tersebut, Erina tiba-tiba memberi usul. "Meja di teras kedengarannya bagus."
Theo terkejut. Suara Erina terdengar begitu dekat di telinganya. Dia menoleh sekilas, mendapati perempuan itu berdiri di sebelahnya dalam jarak yang terlampau dekat, lalu menyentuh pundaknya dengan halus.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Comes Along [G| Completed]
General FictionTheo Lee tidak memiliki banyak ingatan di masa kecil. Ketika ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, meninggal, Theo harus pergi ke Singapura untuk menemui seorang laki-laki bernama Alex Cheung sebagai permintaan terakhir dari ibunya. Alex Che...