'If there ever comes a day when we can't be together, keep me in your heart. I'll stay there forever.'
- Anonymous -
.
.Dua minggu yang lalu, Alex mengatakan kepadanya bahwa dia akan pergi setelah memikirkan rencana tersebut matang-matang. Keberangkatannya ke Paris masih dijadwalkan bulan depan, tetapi setidaknya dia harus pergi menjenguk orang tuanya lebih awal dan mengurus kepindahannya.
"Mungkin kita tidak akan bertemu selama beberapa tahun ke depan. Apa tidak apa-apa?"
Theo ingat Alex berkata seperti itu padanya.
Dia juga ingat, dia menggangguk dan memberikan senyum untuk meyakinkan Alex.
Sudah jelas, Theo tidak mengingat saat-saat di mana Alex pergi ketika dia masih kecil dulu. Tapi hari-hari yang dia lalui setelahnya selalu terasa buruk dan tidak benar. Dia bangun di setiap pagi dengan gelisah, cemas, dan frustasi bahwa dia akan kehilangan Alex untuk yang kedua kali.
Theo tidak tahu lagi mana perasaan yang mendominasi dirinya karena seberapa keras dia berusaha untuk tetap merasa senang atas kebahagiaan Alex, dia merasakan secuil kesedihan dari dasar hatinya yang terdalam.
Apakah dengan segala kesibukan dan hidup masing-masing, Alex akan terus memikirkannya?
Apakah dengan terpisah jarak sejauh lebih dari sepuluh ribu kilometer Alex bisa tetap mengingatnya?
Ada yang lebih menakutkan dibandingkan jarak, yaitu waktu. Theo sudah mengalaminya sendiri.
Waktu membuat banyak hal berubah dan mampu menyembuhkan perasaan seseorang dari luka.
Dia tidak bisa mencegah dirinya larut dalam ketakutan, apakah Alex tetap merasakan perasaan yang sama atau rasa itu akan menghilang perlahan-lahan seiring dengan kenangan mereka yang memudar?
Mungkin, dia akan berakhir kesepian.
Theo membenamkan kepalanya ke atas meja, memikirkan kemungkinan yang terburuk, mengabaikan suara-suara bising di sekitarnya.
Ada suara dering telepon dan mesin fotokopi, suara orang berbincang-bincang, pintu yang terbuka dan tertutup, lalu... suara langkah kaki sepatu.
"Di sana kau rupanya!"
Suara nyaring Erwin menarik Theo kembali pada kesadarannya. Dia mengangkat wajahnya yang tadi beristirahat pada satu tangan, melihat Uncle Ben dan Erwin berdiri memandanginya.
Tersadar akan sesuatu, dia menegakkan punggung, mengeluarkan sebuah map besar dari bawah meja. "Paman, aku ingin mengembalikan berkas-berkas dari laporan tahun lalu yang kupinjam."
"Oh, tolong letakkan saja di meja Erwin," kata Uncle Ben. "Kami mau makan siang di luar. Kau mau ikut?"
Theo tampak enggan sebelum tersenyum meminta maaf. "Mungkin lain kali," tolaknya halus.
"Lain kali lagi?" Erwin terdengar kecewa.
Uncle Ben bertanya dengan alis terangkat. "Kau selalu begitu belakangan ini. Tidak pernah mau ikut keluar atau sekedar makan siang. Kau tidak terlibat masalah di kantor, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Comes Along [G| Completed]
General FictionTheo Lee tidak memiliki banyak ingatan di masa kecil. Ketika ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, meninggal, Theo harus pergi ke Singapura untuk menemui seorang laki-laki bernama Alex Cheung sebagai permintaan terakhir dari ibunya. Alex Che...