Bab 11

3.9K 436 11
                                    

Sophia mendongak sewaktu Theo masuk ke rumah siang itu, berhenti melipat baju-baju yang menumpuk di keranjang. Matanya beralih dari Theo menuju pintu depan yang baru saja terayun keras.

Theo mengusap keningnya yang berkeringat dan membuang napas panjang. Meski anak laki-lakinya itu berjalan mendekat, duduk di sebelahnya, mengambil sebuah buku, lalu membacanya sambil tiduran di sofa seperti biasa, Sophia menyadari ekspresi anak laki-lakinya berubah.

Ah, ekspresi itu lagi.

Marah, sedih, dan kecewa.

Hanya tiga ekspresi itu yang secara bergantian mengisi wajah Theo yang masam.

Sepulang sekolah, Theo akan duduk di luar teras dan mengamati setiap orang yang lewat di luar dari balik pagar rumah mungilnya. Terkadang satu jam, dua jam, atau hingga hari menjelang sore.

Sophia selalu mengawasinya. Dan dia akan berpura-pura tidak melihat dengan tetap memasukkan barang-barang ke kardus, saat Theo akhirnya masuk ke rumah dengan bahu turun.

Theo akan menonton televisi, membaca buku, atau mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Dia bertingkah seperti biasa, namun Sophia tahu betul. Jelas ada sesuatu yang salah dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Keceriaan dalam diri Theo mulai terkuras, sedikit demi sedikit.

Sophia bisa melihat semuanya dan dia mempertimbangkan baik-baik gagasan apa yang harus dibicarakan dengan Theo. Dia tahu penyebabnya, namun tidak tahu bagaimana mengatasinya.

Dia hanya meletakkan satu tangannya di kepala Theo dan mengusap rambut anak laki-lakinya yang lembap, berharap satu tindakan kecil itu sanggup menghibur hati Theo.

"Mama bilang Alex akan datang siang ini," akhirnya Theo bersuara, mendongak sedikit dan memandang wajah ibunya dengan mata memelas.

Sophia menghela napas. "Theo...."

Theo bangun dari posisi berbaring. Kepalanya menunduk, bibirnya merengut. "Dia tidak datang lagi hari ini," katanya, mengepalkan tangan.

"Mungkin dia sedang sibuk dengan pelajaran tambahan di sekolah dan les lainnya," hibur Sophia. "Alex akan datang jika dia punya waktu."

"Tidak," Theo hampir menjerit. Dia mundur dan memberontak. "Mama selalu bilang dia akan datang, tapi Alex tidak pernah datang. Dia tidak akan datang!"

Theo mengangkat tangan dan mengusap pipinya yang sudah basah. "Aku tahu dia tidak akan datang lagi."

Sophia merentangkan tangan dan memberi isyarat pada Theo untuk mendekat. Dia berusaha menenangkan anaknya yang menangis dengan mata berkaca-kaca. "Kita akan pindah, kenapa dia tidak datang? Apa dia membenci kita?"

Sophia memeluk Theo semakin erat. "Tentu saja tidak, Sayang. Mana mungkin Alex membenci kita?" dia meyakinkan Theo.

"Aku tidak mau berada di sini dan melihat Theo menangis sewaktu Bibi memberitahunya nanti."

Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Sophia. Dia mendesah sewaktu menyadari betapa benarnya keputusan Alex.

"Alex sangat menyayangimu," Sophia berkata, mengelus rambut Theo. "Dia sangat, sangat, sangat menyayangimu, Theo."

Theo menyeka matanya dengan punggung tangan. Alih-alih menghentikan tangisannya, dia membalas pelukan ibunya dan membenamkan wajahnya di sana.

Sophia menyentuh punggung Theo dan tertegun. Tidak ada suara isak tangis, namun tubuh anak laki-lakinya terus bergetar, dan baju di bagian depannya menjadi basah dan juga... hangat.

When Love Comes Along [G| Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang