Sesudah meletakkan seporsi nasi ayam di meja pengunjung, Sophia mengambil teh yang baru selesai diseduh di dapur dan menuju teras belakang dengan langkah ringan.
Dia tersenyum senang pada Alex yang duduk termangu menatap sungai Melaka sambil bertopang dagu. "Kau datang sendirian?" tanyanya, memecah lamunan laki-laki tersebut.
Alex meraih mug berwarna putih itu dengan kedua tangan dan langsung mengenali harum vanila dalam teh yang dibuat Sophia. "Aku datang bersama teman-teman sekolahku. Aku ingin menginap semalam di sini, tapi mereka sudah punya rencana lain di Kuala Lumpur. Jadi besok pagi…."
Sophia mengangkat alis, seolah-olah bingung mengapa Alex menghentikan ucapannya tiba-tiba. Dia diam, menunggu laki-laki itu melanjutkan kalimatnya yang terputus. Namun, Alex tidak memulai lagi, hanya menatap ke sekeliling dengan pandangan mencari-cari.
Kemudian Sophia pun paham. Dia mendesah pelan dan melihat Alex dengan sayang. "Theo mengambil banyak kegiatan di sekolah. Dia selalu pulang setelah lewat jam tiga."
"… aku mengerti." Alex tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya dan menunduk, punggungnya bersandar ke belakang. Beberapa saat dalam keheningan, dia akhirnya mengangkat wajah, menatap meja-meja di sekitarnya yang belum tertata rapi dan masih menguarkan bau cat basah. "Sejak kapan kedai ini buka?"
"Kurang lebih tiga bulan yang lalu." Sophia mengambil tempat duduk di dekat Alex. "Awalnya hanya tiga meja di depan, lalu jumlah pengunjung mulai bertambah dan aku berpikir untuk menambah beberapa lagi di belakang sini."
"Di malam hari suasananya pasti bagus," gumam Alex. Dia meminum teh sedikit, kemudian mengeluarkan kamera dari tasnya dan mengambil beberapa jepretan gambar ketika sebuah perahu tur melintas di sungai. Setelahnya, Alex menoleh ke Sophia dan tertegun sejenak.
Hanya satu tahun dan begitu banyak perubahan yang terjadi pada diri Sophia. Wajahnya yang sederhana namun anggun sekarang dipenuhi gurat-gurat tipis dan terlihat lelah. Matanya sayu dan kulitnya tidak secerah dulu. Kening Alex sedikit merengut sewaktu Sophia menatapnya sambil tersenyum. "Bibi… baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Kalau Bibi membutuhkan sesuatu, aku bisa…"
"Alex," Sophia memotong ucapan Alex dan mengeluarkan helaan napas ringan. "Aku baik-baik saja. Lebih dari baik," ujarnya. Dia mengambil tangan Alex di atas meja dan menangkupnya, bertanya balik, "Apa kau sendiri baik-baik saja?"
Pertanyaan itu membawa Alex kembali pada realita. Dia menelan ludah, hanya bisa tersenyum getir sebelum membalas dengan pahit, "Life gets rough, tapi aku mulai membiasakan diri dengan semuanya."
"Kalau saja kau bisa hidup seperti anak-anak seusiamu yang lain." Sophia menerawang, mengenang masa lalu. "Rasanya sangat menyenangkan, melihatmu bermain bersama Theo dan tertawa lepas tanpa beban."
Mau tidak mau, Alex ikut tersenyum kecil. Namun sewaktu sebuah pikiran melintas dalam kepalanya, senyum itu hilang dalam sekejap. "Aku takut tidak akan bisa mengunjungi Bibi dalam waktu dekat."
"Kau tidak harus melakukannya," Sophia berkata cepat. Nada suaranya penuh dengan pengertian. "Kabur dari rumah tidak akan menyelesaikan apapun, Alex. Orang tuamu mungkin keras, tapi mereka tetap keluargamu."
"Aku tahu." Alex mengangguk muram. "Aku tidak bisa berjanji, tapi aku akan berusaha untuk mengirimi Bibi surat sesering mungkin," katanya, memandang Sophia. Suaranya diwarnai kekhawatiran.
Sophia merangkul Alex. "Semua akan membaik pada akhirnya," dia berbisik dengan sepenuh hati. "Dan kau akan menjadi lebih kuat daripada sebelumnya, Alex."
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Comes Along [G| Completed]
General FictionTheo Lee tidak memiliki banyak ingatan di masa kecil. Ketika ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, meninggal, Theo harus pergi ke Singapura untuk menemui seorang laki-laki bernama Alex Cheung sebagai permintaan terakhir dari ibunya. Alex Che...