One. Keluar dari Kardus Usang

337 5 1
                                    

Ada terlalu banyak kata yang tak mampu kutulis dalam lembar tak bernada untuk kurangkai menjadi sebuah lagu balada berjudul "Us and Memories".

Jadi aku membiarkan saja semua kata-kata itu beterbangan seperti kapas-kapas yang tertiup angin di musim kemarau. Dengan harapan, ketika kapas itu lenyap, namamu dalam rongga dadaku pun ikut lenyap bersamanya.

Kesya Pov

Matahari masih enggan menampakkan kepongahannya saat aku keluar dari bandara internasional Soekarno-Hatta. Meskipun sinar matahari yang menyambut pagi masih remang, namun bandara telah sesak dipenuhi oleh orang-orang yang berlalu-lalang seperti kendaraan di seberang jalan sana. Mereka yang akan pergi, ditinggalkan, bertemu, berpisah.

Sejujurnya, aku bukanlah orang yang menyukai bandara ataupun tempat-tempat sejenisnya seperti pelabuhan, stasiun.. Alasannya sangat sederhana. Karena di tempat-tempat itulah aroma perpisahan melekat dengan sangat kental. Meskipun tidak dipungkiri memang ada pertemuan, tapi tetap saja aroma perpisahan terasa sangat menyesakkan. Lagi pula, tetap saja. Bagiku, bandara hanyalah tempat untuk menyisakan kenangan bagi orang-orang yang akan pergi maupun yang akan ditinggalkan. Entah kapan ada pertemuan lagi setelah perpisahan. Kita selalu merencanakannya, namun takdir terlalu egois untuk mengikuti semua alur episode kehidupan yang kita tulis dalam benak kita. Yang kita miliki hanyalah kenangan. Kenangan yang akan terhempas atau bertahan seiring dengan melajunya waktu.

Waktu.

Bagi jutaan orang, mungkin waktu hanyalah uang. Hanya sekedar uang. Dan aku memberi penekanan pada kata sekedar. Karena uang bukanlah hal paling berharga di dunia ini. Dulu, yang paling berharga menurutku adalah dia, yang meninggalkan ruang hampa dalam salah satu ruang di rongga dadamu ketika ia pergi. Tapi sekarang, aku berpandangan lain. Menghempaskan pandangan melankolisku yang terlalu naif.

Atau..
Bagi jutaan orang waktu hanyalah populasi detik yang berlari hingga ia mendapat penghargaan sebagai menit, lalu menit mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk menjadi jam. Dan jam akan terus berputar tanpa henti membentuk sesuatu yang kita sebut sebagai hari.
Lalu hari menjadi minggu. Minggu menjadi bulan. Bulan menjadi tahun. Dan begitulah kehidupan seterusnya hingga batas waktu yang entah sampai kapan. Intinya, waktu terus melaju seperti kereta yang akan menggilasmu ketika tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Aku melangkah keluar bandara, mencari kendaraan umum agar bisa cepat-cepat pulang ke rumah. Atau, tempat yang sebenarnya tidak terlalu cocok untuk kusebut sebagai rumah. Tapi, tempat penginapan gratis. Aku mendesah pelan. Membosankan. Aku berada di tempat ini lagi. Di kota ini. Kota yang sepenuhnya menjadi saksi akan separuh hidup yang pernah aku titih. Bedanya dulu aku pergi dengan seribu luka, lukaku dan luka seseorang. Sekarang aku kembali dengan luka yang telah terobati.

Tapi apa yang akan aku lakukan dengan semua puing-puing masa lalu yang kini beterbangan dalam benakku? Apa jalur yang kutempuh ini sudah benar? Apa aku harus kembali masuk ke bandara dan membeli tiket kembali ke London?

Aku menggeleng merutuki kebodohanku. Aku bukan orang yang sama lagi. Aku yang sekarang adalah Kesya yang baru. Yang sudah direvisi semenjak bertahun-tahun yang lalu. Aku bukan bocah naif dan melankolis itu lagi. Aku harus memandang jalan  yang ada di depanku untuk kutitih. Memandang jalan dari kota metro yang insya Allah akan kami bebaskan dari cengkraman sistem thagut yang melahirkan aturan-aturan tandingan Allah.

"Kesya!"

Teriakan itu membuatku terhempas seketika ke dunia nyata dan memandang pemilik iris mata cokelat tua berbinar-binar yang melangkah riang ke arahku. Sebenarnya sebagian besar mata manusia berwarna cokelat yang sangat tua sehingga terlihat seperti warna hitam sehingga kita mengira bahwa warnanya hitam. Oke, kita tinggalkan hipotesis iris mata dan kembali pada si pemilik mata indah itu. Ariana, sepupuku.

Love to SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang