Matahari mungkin sudah lelah memanggang mahluk-mahluk bumi yang sangat senang berbuat kerusakan. Buktinya, bisa dipastikan bahwa hujan sebentar lagi akan menggantikan peran matahari. Asumsiku diperkuat oleh mendung yang membuat bayangan gedung-gedung yang kami lewati memudar, bahkan hilang.
Aku duduk membonceng pada Ariana yang hari ini bawa motor matic, menikmati tiap hembusan angin pembawa udara sesak dengan polusi asap kendaraan lainnya yang bejibun, juga asap-asap pabrik milik negara lain yang berdiri kokoh di jantung ibukota Republik Indonesia.
Aku mendesah, menatap ke arah langit yang sedari tadi berhias awan hitam. Mungkin awan itu sedang menampung air mata bumi yang menguap karena terus disiksa oleh keegoisan manusia, hingga lambung bumi yang bernama ozon makin menipis, dan menunggu waktu hingga lambung itu bocor.
Pletak. Tak. Tak. Pletak.
Bulir-bulir air yang datang menyerbu bumi menjitak helm biru langitku, dan mengalunkan irama yang mengganggu indera pendengaran, diiringi zat cair yang mulai membasahi jilbab cokelat muda yang kukenakan. Ah, gerimis.
"Ariana, ayo berteduh. Kayaknya akan hujan deras," seruku pada Ariana dengan nada tinggi, berusaha menandingi jitakan gerimis yang berkuasa pada ruang bebas ini.
Ariana menghentikan motor, lalu memarkirnya di depan sebuah caffe yang tampak familiar.
Caffe dengan tulisan "Harmony" yang menyambut kami di dekat pintu.
Aku mengikuti langkah Ariana memasuki caffe yang bernuansa klasik ini. Seluruh dindingnya terbuat dari kaca jernih sehingga kami bisa melihat kendaraan yang berlalu-lalang di depan caffe.
Aku menatap keluar caffe melalui dinding kaca. Caffe ini berseberangan dengan gedung sekolah bertaraf internasional yang tampak megah. Sekolah bertuliskan "Galaxi International School".
Dulu kami menyebut sekolah ini dengan akronimnya. GIS.
Ya, "kami" yang dulu melukis masa-masa remaja di sekolah ini.
Aku mendesah pendek. Entah kenapa hujan membawaku ke tempat ini. Tempat yang menyimpan kenangan buruk paling banyak.
Aku bertopang dagu menatap siswa-siswi menyerbu gerbang sekolah. Beberapa memakai payung dengan berbagai warna. Yang lainnya membiarkan rambutnya basah oleh air hujan.
Ada pula yang keluar dengan mobil mewahnya, juga motor ninja yang sampai sekarang masih membuatku enggan untuk naik ke punggungnya.
Suasananya masih terasa sama. Ramah. Hangat. Ceria.
Bahkan, dari tempatku duduk, mataku yang minus 2,5 ini bisa melihat siswa SMA dengan jaket abu-abu yang menutupi seragam kusutnya. Di telinganya terpasang headphone warna putih dengan jemari yang salah satu jarinya terlilit plester sambil memegang gagang cangkir berisi kopi hitam panas, lalu menyesapnya. Menikmati sensasi pahit sekaligus manis yang diciptakan oleh kopi itu. Siswi SMA yang duduk di depannya menatap jengkel sekaligus geli.
"Yeeey.... Belputal... belputal..."
Sorakan yang terdengar menggemaskan itu membuatku tersentak.
Sepasang siswa SMU di meja depanku perlahan menghilang, terhempas di balik batas akal sehatku, lalu tertimbun oleh lumpur yang bernama 'kenyataan'.
Tatapanku teralihkan ke meja arah jam 3. Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki yang kuperkirakan berusia sekitar 4 tahun. Ia memainkan sebuah baling-baling kertas. Tawa anak itu menular, membuat saraf-sarafku memaksa bibirku untuk tersenyum. Sudah lama sekali aku tidak melihat mainan itu. Dan aku merasa.... bahagia.
![](https://img.wattpad.com/cover/62659679-288-k462598.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love to Sky
CasualeKesya Jovita Anggara. Seorang mantan playgirls yang berusaha lari dari masa lalunya yang kelam. Namun apa jadinya ketika proses hijrah yang dijalaninya justru mempertemukannya kembali dengan "dia" yang namanya tak pernah hilang dan ingin Kesya kubu...