Ten. #IslamRahmatanLilAlamin

179 5 2
                                    

Pancaroba.

Sepertinya musim yang satu ini datang lagi.

Aku ingat, kemarin aku dan Ariana harus berteduh di Harmony gara-gara hujan yang tiba-tiba datang menyerbu bumi.

Tapi hari ini, matahari kembali terik. Menciptakan bayang-bayang fatamorgana pada aspal yang dilewati oleh angkot yang aku tumpangi ke kampus. Keringatku sudah mengalir sedari tadi. Apalagi dengan pakaian berlapis-lapis. Dengan jilbab_yang disebut gamis oleh orang Indonesia_serta kerudung yang lebar dan panjang hingga ke pinggang. Bukan cuma itu saja, aku juga memakai al-mihna dibalik gamisku, yaitu baju potongan dan rok panjang. Maka aku tidak akan menyangkal ketika ada yang mengejekku dengan sebutan "pepesan akhwat".

Jadi salah siapa? Pakaian "serba boros" yang aku kenakan? Nampaknya bukan. Karena beberapa perempuan yang berpakaian terbuka di depanku juga mengipas-ngipas dengan keringat berleleran.

"Mbak, apa nggak gerah pakai jilbab besar begitu?" tanya seorang perempuan yang duduk di depanku. Nampaknya ia seumuran denganku. Mungkin. Namun, dia bertanya secara formal. Aku sedikit geli.

"Jilbab kan memang harus besar, mbak. Kalau tidak besar, namanya bukan jilbab. Tapi gamis, atau gaun," jawabku dengan iring-iringan senyum dan gaya bicara formal pula. Mbak di depanku nampaknya bingung.

"Kalau yang saya pahami mbak, jilbab itu yang ini," lanjutku sambil memegang pakaian yang dianggap gamis oleh orang-orang Indonesia.

"Kalau di kamus bahasa Arab sih, jilbab itu berasal dari kata 'jalabah'. Artinya, baju kurung. Yang panjang, tidak berpotongan, tidak transparant. Sebagaimana juga yang difirmankan Allah dalam terjemahan surah al-Ahzab ayat 59. Pengertian jilbab adalah, seperti yang saya bilang tadi."

Mbak itu nampak masih bengong.

"Kalau yang sering dibilang jilbab oleh orang-orang ini," ucapku sambil memegang kerudungku, "Berdasarkan pemahaman saya, namanya khimar, mbak. Kalau di Indonesia, namanya kerudung."

"Jadi jilbab itu baju?" tanya mbak itu bingung. Aku senyum.

"Iya. Itu yang saya pahami berdasarkan terjemahan al-qur'an dan arti bahasa Arab."

"Tapi tidak gerah, mbak? Saya saja yang tidak pakai jilbab, eh kerudung gerah banget."

"Saya bohong kalau tidak gerah, mbak. Tapi, kalau saya tidak pakai, apa saya tidak akan gerah? Pake, ataupun tidak pakai, kan sama-sama gerah. Mending pakai kan? Apalagi, hijab syar'i adalah kewajiban bagi setiap muslimah ketika keluar rumah."

"Aduh, mbak. Saya sudah mau turun nih. Bisa tidak kalau saya minta nomornya atau akun media sosial nya? Biar kita bisa ngobrol kain kali?"

"Alhamdulillah, bisa, mbak. Mbak add line saya aja. Id saya 'biru', mbak."

"Biru aja, ya? Oh iya, namanya siapa mbak? Nama saya Dewi."

"Iya. Cuma biru kok mbak Dewi. Nama saya Kesya."

"Kiri, pak," kenalan baruku yang bernama Dewi itu menyetop supir pete-pete.

"Sampai jumpa ya, Kes. Assalamu alaikum."

"Wa alaikumu salam warahmatullah.."

Masya Allah...

Selama kurang lebih tiga bulan berada di Jakarta, baru kali ini ada orang yang mau meluangkan waktu untuk ngobrol denganku. Bahkan meminta nomor dan akun sosmedku. Penghuni kampus biasanya akan cari seribu cara ketika aku dan teman-teman yang berkecimpun di LDK datang dan  mengajak mereka untuk ngobrol.

Lamunanku buyar ketika angkot berhenti. Seorang laki-laki dengan celana kain hitam sedikit menggantung dan baju kemeja putih bergaris naik ke angkot dan menyebutkan nama salah satu kampus yang ada di kota metro ini. Kampusku. Dan dia duduk tepat di depanku.

Love to SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang