Thirteen. Choice

165 3 0
                                    

Normal POV

Pukul 15.31 motor Pasha meraung di depan kosan "The Ghuroba", lalu memarkirnya ke tempat parkir khusus sepeda motor.

Kakinya yang sudah terasa sangat pegal dipaksa melangkah ke arah sebuah pintu bertuliskan lafaz "laa ilaaha illa llah". Kosan dengan jumlah 50 kamar yang rata-rata diisi oleh para ikhwan, teman-teman seperjuangan Pasha. Kebanyakan teman sekampusnya, dan sisanya teman-teman seperjuangan dari kampus lain.

"Assalamu alaikum," salam Pasha ketika membuka pintu utama.

Setibanya di kamar, ia menggantung ranselnya di tempat khusus menggantung ransel.

Rasa penat mulai melanda sejak dalam perjalanan pulang. Capek, kantuk, dan nyeri di ulu hati berbaur menjadi satu, memaksa Pasha berbaring di atas kasur kecil yang hanya cukup untuk dirinya.

Nasyid shoutul Khilafah menggema sepenjuru kamar yang lumayan luas karena dihuni oleh tiga orang itu. Pasha, Drian, dan Faris.

Saat yang dinanti telah hadir kembali

Tegaklah al khilafah

Seluruh umat islam bersatu kembali dalam naungan khilafah rasyidah

Kesadaran Pasha mulai terenggut seiring dengan alunan nasyid yang mulai terdengar sayup-sayup pada indera pendengarannya, dan berhasil membuatnya melayang, entah kemana....

Ke suatu masa yang selalu diceritakannya pada sebagian besar orang yang pernah ditemuinya. Kehidupan yang makmur, bertabur salam hangat, tidak ada pengemis dan orang susah, hanya wajah sumringah penuh syukur, perempuan-perempuan berhijab, laki-laki yang berjalan menunduk dengan wajah bercahaya....

"Assalamu alaikum..." sayup-sayup terdengar pula suara salam itu.

"Wa alaikumu salam warahmatullah..." jawab Pasha lirih.

Pasha terus berjalan. Zaman siapakah ini? Siapa amirnya? Rasulullah? Abu Bakar? Umar? Ustman? Ali? Atau khalifah agung lainnya?

Pandangan Pasha tertuju pada seorang laki-laki bersorban yang sedang berbicara dengan segerombolan pedagang di pasar. Wajah pedagangaa-pedagang itu tampak sumringah.

"Ada Khalifah Umar bin Abdul Aziz disana...." teriak seorang laki-laki dengan nada girang.

Laki-laki bersorban itu, khalifah?

Teriakan itu memacu semangat Pasha untuk bertemu dengan pemilik punggung yang namanya tercetak pada kertas-kertas yang selama ini dibaca Pasha, pemilik nama yang amat dikaguminya..

Beberapa langkah lagi, ia akan melihat wajah agung itu. Cicit dari khalifah Umar bin Khattab dari puteranya yang bernama Abdullah. Seorang khalifah yang pada masanya, umat hidup makmur dan tidak ada seorang pun yang ingin menerima zakat karena merasa berkecukupan. Dia, Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Pasha mempercepat langkahnya, berharap bisa menyalami sang khalifah yang selalu diidolakannya...

Tangannya bahkan telah terulur untuk menyentuh pundaknya...

"Bang Pasha...."

Suara itu tidak keras, tapi tetap saja berhasil membuat Pasha tersentak dan menyisakan rasa nyeri di bagian dada. Ah, jantung dan lambungnya kini bekerjasama untuk mengerjainya.

Mata Pasha terbuka penuh. Wajah Faris sudah memenuhi pandangannya.

"Kamu kok tidur ba'da ashar? Baik-baik saja kan?"

Pasha menghela nafas sambil bersandar di tembok. Ia sedikit jengkel.

"Apanya yang baik? Sering-sering aja begini. Ris, Ris..." batin Pasha. Maunya sih bilang itu....

Love to SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang