Fifteen. ObSeSI

231 2 0
                                    

Aku dan sesama akhwat LDK ku duduk-duduk di masjid kampus.

Kami baru saja mengadakan kajian pekanan membedah buletin "Al-Insan", buletin produksi LDK kami. Kali ini temanya tentang mahasiswa. Tepatnya "Revitalisasi Idealisme Mahasiswa".

Maklumlah, mahasiswa sekarang sudah kehilangan idealismenya. Seakan mahasiswa dan idealisme bukan lagi dua buah sepatu yang berpasangan. Yah, mahasiswa dan idealismenya pada era yang katanya dilingkupi perkembangan IPTEK ini seperti dua buah sepatu yang terpisah.

Sebuah sepatu kesepian yang kehilangan pasangan. Yang lebih baik dibuang daripada disimpan rapi dan ambil tempat di rak sepatu. Tidak berguna!!!
Oh, mungkin bisa dipakai melempar mangga tetangga yang pelit karena gak mau berbagi mangga. Itu kalau sepatu.

Kalau mahasiswa yang kehilangan idealisme, masa mau dibuang? Atau dipake lempar mangga tetangga? Kan tidak mungkin. Karena itulah, LDK kami hadir untuk mengajak mahasiswa menemukan kembali idealisme mereka. Apa lagi mahasiswa yang ngaku-ngalu islam, bahkan pede melabeli KTP nya di kolom agama dengan embel-embel ISLAM.

"Wah,,, nyantai!!!" Kebiasaan Miranda deh, memekik sembarangan. Padahal ini lagi di masjid.

Kami semua sontak menoleh ke arahnya yang disambut cengiran minus rasa bersalah oleh Miranda.

"Ada apa sih, Mir? Dari tadi kita udah santai, kali.." ucap Aliya.

Aliya dan Miranda, dua akhwat angkatanku yang sering berdebat gak penting. Tapi, mereka lucu.

Aku melongo bingung, sedangkan Mila terkekeh pelan.

"Yah, perang dunia keempat mulai deh," canda Mila.

"Kok empat?" tanyaku bego.

"Kan udah banyak perang dunia ketiga, Kes," ucap Mila polos.

Aku dan beberapa akhwat lain tertawa kecil. Tapi, Aliya nampaknya masih mempermasalahkan pekikan Miranda.

"Mir, kamu kenapa sih?"

"Ini, teman SMP aku udah lahiran anak ketiga. Gokil gak?"

Gubrak.

Gokil bangeddd... Aku mencaci dalam hati. Jadi Miranda teriak gara-gara itu? How come?!!!

"Gak usah ngiri-ngirilah sama yang rejekinya datang duluan," canda Nisa.

"Gak iri sih, cuma merasa mengenaskan aja, dek," ucap kak Widya.

Kami tertawa.

"Makanya jangan suka nolak lah Wid," ucap kak Farah.

Degg!!!

Meskipun kata-kata itu untuk kak Widya yang terkenal di kalangan kami suka nolak khitbah (denger-denger), tapi aku juga ngerasa kesindir.

"Kalau gak sesuai keinginan mau gimana lagi dong, Fa? Kalau yang datang ikhwan sesama teman seperjuangan sih welcome. Aku gak peduli muka lagi tuh. Tapi, yang datang cowok-cowok alay masa kini terus. Gimana mau ngimamin aku kalau shalat aja jarang? Ada juga yang ngaku-ngaku organisasi islam, tapi masih ragu, Allah beneran Tuhan atau cuma khayalan manusia saja? Kan gila kalau harus hidup seatap dengan orang-orang begituan," kak Widya sewot. Kami lagi-lagi tertawa.

"Kadang aku juga mikir lho, kenapa gak boleh sih, kalau kita netapin persyaratan calon suami harus se-organisasi?"

"Iya kali, kamu liat aja jumlah ikhwan yang 1:3 dari jumlah akhwat? Mau dipoligami?" celetuk kak Farah.

Kami semua bergidik. Bukannya mengharamkan poligami ya, cuma... bergidik aja. Kalau Kesya sendiri sih, no problem lah. Dan ini serius. Bohong kan dosa. Hehee..

Love to SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang