Nine. Done

228 5 0
                                    

Maaf untuk part 7 dan 8 yang "sempat" tertukar.

#

Hari ini adalah hari ketiga sekolah tanpa Pascal. Sebagai hukuman atas perkelahiannya dengan Yugo, mereka berdua di-skors. Pascal di-skors 1 minggu, sedangkan Yugo hanya di skors 5 hari karena dianggap korban. Bukan masalah, toh cuma beda dua hari. Tapi dua hari adalah dua hari yang sangat enak untuk liburan gratis. Itu bagi seorang Kesya. Mungkin akan berbeda bagi seorang Pascal.

"Sya, ke kantin yuk,"

Aku menoleh ke belakang dan menemukan seorang cowok yang mengenakan jaket persatuan tim futsal GIS. Dia kaptennya. Namanya Dirgha. Kelas XI IPA.

Aku tersenyum.

"Ayo. Aku lapar nih," ucapku. Dirga tersenyum. Ia menarik tanganku ke kantin. Adegan ini hanya berlangsung beberapa menit sebelum sebuah tangan memisahkan tangan kami dengan kasar.

Aku mengangkat wajahku untuk mengenali siapa yang telah bertindak kasar pada kami.

Jantungku berdebar. Seperti ingin kabur dan meninggalkan rongga dadaku saat ini.

"Kak?" desisku lirih pada seorang cowok yang berdiri di depanku. Ia mengenakan celana training dan jaket abu-abu yang sering dikenakannya. Rambutnya yang kemarin-kemarin melewati daun telinganya sudah dipangkas, namun tetap acak-acakan. Tampilannya hari ini berbeda dari biasanya. Dengan tubuh yang makin kurus, wajah tirus, dan bibir pucat, juga mata cekung dan lingkaran hitam di sekitarnya. Ia sakit lagi?

Ia hanya diam, menatapku dengan tatapan yang membuat jantungku harus memompa darah lebih keras. Diamnya, jauh lebih menakutkan ketimbang saat ia marah. Meskipun, ia belum pernah marah sekali pun padaku selama aku dekat dengannya.

"Bukannya kamu di-skors?"

Alisnya terangkat sebelah. Tanpa mengatakan apa-apa, dia menyeretku ke depan gudang. Tempat paling sepi, bahkan melebihi toilet sekalipun di GIS.

"Kamu kan di-skors, kak.." ucapku lirih pada cowok yang menatapku dengan wajah datar. Ia menghela kasar.

"Apa karena aku di-skors, kamu jadi boleh jalan dengan cowok mana pun? Termasuk Dirgha?"

"Ya. Aku pikir kita tinggal di negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, kak."

Pascal menatapku tidak percaya.

"Kamu taruhan sama siapa lagi? Dion?"

Aku mendengus keras. "BUKAN urusan loe!!!"

"Kamu cuma nyakiti cowok yang kurang ajar, kan?" Aku menggigit bibir. Gugup. Gelisah.

"Dirgha orang baik."

"Loe benar, kak. Dirgha cowok yang baik. Dan aku tidak jadikan dia barang taruhan. Aku benar-benar pacaran sama dia."

"Kamu selingkuh saat aku di-skors?"

"Selingkuh? Gue pasti lupa mutusin loe. Kita putus!!!"

"Kenapa?"

"Apa yang bisa gue harapkan dari lo, kak? Seorang anak yang lahir di luar pernikahan? Anak yang bahkan tidak diakui ayah kandungnya? Tidak punya masa depan?"

Aku menelan salivaku. Tenggorokanku terasa kering. Tapi mungkin hatiku lebih kering lagi saat ini.

"Dan penyakitan. Cacat. Sebentar lagi mati. Apa yang bisa aku harapkan?" ucapku dengan suara lebih rendah.

Pascal tampak kaget dengan kata-kataku barusan.

"Magh akut? Kelainan jantung?"

"Star..."

Love to SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang