Six. Jatuh

216 4 0
                                    

Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi
Di balik awan
Semoga ada yang merenungi sisi gelap ini
Menanti
Seperti pelangi setia menunggu hujan reda

Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember

Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan suka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka

(Desember-Efek Rumah Kaca)

Tanpa sadar aku mengulum senyum, menikmati setiap kata yang terangkai menjadi berbait-bait lagu. Suara berat dan serak yang keluar dari bibirnya membuat perasaanku tenang. Pascal tampaknya menikmati permainan gitar sekaligus nyanyiannya. Alis tebalnya sedikit mengerut dengan mata terpejam menikmati alunan melody yang mengalun di sekitar kami. Ia tetap memetik senar gitar dengan kukunya yang agak panjang meski berhiaskan plester yang melilit pada jari telunjuknya. Aku bukan orang yang mengerti musik, tapi aku adalah orang yang mengerti bahwa cowok yang mengenakan jaket abu-abu di depanku ini adalah orang yang sangat mencintai hujan.

"Sampai hujan memulihkan luka."

Aku tersenyum. "Not bad."

"Harusnya kamu bilang fantastic, star."

Aku mendecak. "Kopinya diminum tuh. Jangan nyanyi mulu, kak. Kasihan kan, kopinya dianggurin," gerutuku. Padahal sebenarnya, yang dianggurkan adalah 'aku'.

Jujur, aku sedikit jealous pada gitar cokelat yang penuh tempelan kata-kata motivasi yang duduk manis pada kursi samping Pascal. Gitar itu selalu ia bawa kemana-mana. Ke sekolah pun Pascal menyandangnya seperti menyandang ransel. Dan ia memang tidak pernah membawa ransel ke sekolah. Semua buku pelajarannya ada di dalam laci mejanya. Freak.

Pascal terkekeh lirih, lalu menyesap kopi hitam yang dari tadi ia pesan.

"Apa menariknya secangkir kopi? Kenapa kamu suka?"

"Kamu tidak tahu filosofi kopi, star?"

Aku mengangkat pundak.

"Kebahagiaan itu sederhana. Seperti secangkir kopi. Pahit. Manis. Hangat."

"Bagi aku, sebuah hubungan bisa saja seperti meminum kopi. Ada sensasi pahit, manis, hangat. Tapi semua sensasi itu akan berakhir lebih cepat dari yang kita prediksi."

Pascal tertawa. Ia menjitak kepalaku dengan lembut

"Venus."

"Ya?" respon refleksku berhasil membuatnya mengukir senyum manis pada wajahnya. Ah sudah aku bilang, sisi budakku melonjak saat bersama orang ini.

"Selama tiga bulan bersama, aku ini apa buat kamu?"

"Maksud kamu?"

"I love you."

"Trus?"

Pascal menyesap kopinya lalu menatapku serius.

"Aku tahu kalau hubungan kita hanya pengakuan sepihak. Hanya aku yang merasa kalau kita pacaran. Hanya aku yang jatuh cinta dalam hubungan kita. Maaf, aku memaksa kamu ikut menemaniku terkurung dalam kardus warna-warni milikku yang telah usang."

"Kamu mengatakan apa sih, kak?"

"Berikan aku kesempatan untuk membawa kamu ke dalam kardus warna-warni yang kuciptakan untuk kita."

Aku hanya bisa mematung, mencoba memaknai kata-kata Pascal. Membiarkan tiap kata yang tercipta dari bibirnya meresap dalam dadaku.

"Pintu hati aku mungkin sudah tertutup, kak. Semenjak ayah pergi dan membanting pintu dengan keras tepat di depan wajahku," ucapku lirih. Tapi sebenarnya, tidak dari hati. Entahlah, aku mengatakannya untuk menutupi sesuatu saja darinya.

Love to SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang