Satu

206K 7.3K 497
                                    

Aturan Baca Cerita Greya

Komentar apapun yang menunjukkan ketidaksukaan kalian terhadap alur, tokoh, sikap, akhir, cover, etc. GUE NGGA PEDULI!! INI CERITA GUE. NGGA SUKA? NYINGKIR!!

Tolong bener2 nyingkir ngga usah baca.

GUE NGGA MENCIPTAKAN CERITA SESUAI KEMAUAN PEMBACA. TAPI KEMAUAN GUE.

*Menerima kritik beserta saran.
*Cuma bisa memberi kritik tanpa saran. lebih baik ngga usah kritik!!
*Benci dengan komentar GUE BINGUNG SAMA CERITA INI!! tanpa mau menjelaskan bagian yang bikin bingung. kecuali dijelaskan bagian mana yang bikin bingung, agar bisa diperbaiki.

Di sini kita KERJA SAMA! Ngga gue KERJA SAMA KALIAN jadi harus menuruti mau kalian.

JADI JANGAN NGATUR-NGATUR. APAPUN YANG TERJADI DI CERITA SAYA. ITU HAK SAYA.

Apapun alurnya. Silakan baca, terima, tanpa membebani saya dengan keinginan kalian. Kalau ngga mau. Bisa hapus cerita ini dari daftar bacaan kalian.

Maaf. Bukan saya sombong atau tidak butuh pembaca.

Saya ingin menulis tanpa tekanan, tanpa tuntutan, tanpa berusaha mengikuti keinginan kalian yang tidak sesuai dengan isi kepala saya.

Saya ingin menjadi diri saya sendiri melalui cerita saya.

Jadi tolong hargai itu.

****

BAB SATU

Sang dara termenung di ambang jendela,

Menatap sendu pada lembayung senja,

Meratap pada Sang Pencipta mega,

Akankah datang dia, yang menyambut kepakan sayapnya,

Aku memandang senja yang memerah. Jemariku menutup wajah saat sinarnya menerpa menyilaukan. Aku tersenyum setiap sapuan hangatnya menyentuh kulitku. Indah. Aku selalu menyukai sunset dan sunrise.

Saat matahari mulai mengintip dari ufuk timur, aku akan pergi ke arah jendela yang menghadap arah timur. Jika matahari mulai pelit membagikan cahayanya dan bersembunyi ke arah barat. Maka aku akan pergi ke jendela yang menghadap arah barat.

Saat ini aku tengah memperhatikan senja yang berwarna orange kemerah-merahan. Artinya aku ada di sebelah barat. Memperhatikan sang surya yang mulai tenggelam dan pastinya muncul ke belahan bumi yang lain. Mungkin Amerika? Entahlah. Yang jelas, jika tanah kelahiranku ini menggelap. Pasti ada bagian lain yang saat ini masih terang. Atau mungkin baru memulai pagi.

Allahuakbar ... Allahuakbar!

Lantunan merdu pun mulai terdengar bersahut-sahutan. Aku terpejam. Panggilan shalat untuk para hamba-Nya menyerahkan diri sejenak untuk bersujud syukur pada-Nya.

"Bulek, maghrib! Jendela ditutup. Nanti setan pada masuk!"

Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Keponakan wanitaku itu menutup jendela yang menghadap sebelah timur. "Shalat! Jangan lupa doa minta jodoh," celotehnya membuat bola mataku berputar malas.

Jodoh! Aku percaya Allah menyiapkan setiap umatnya berpasang-pasangan. Namun jika memang belum datang, apakah aku harus memaksakan hal itu?

Benar. Aku sudah tua. Not really old for me. Tapi bagi orangtuaku, lumayan tua. Andai mereka tahu, semangatku tak pernah terkikis oleh tuanya usia, oleh rapuhnya raga. Jiwaku masih muda. Masih sangat muda, apalagi untuk terus berkelana mengeksplore kemampuan diri. Seperti berbagi ilmu dengan yang membutuhkan.

Thank You and Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang