Tiga

54.8K 4.7K 177
                                    

Tolong cek typo dan kalimat rancu yah kalau ketemu.


BAB TIGA

Sang dara terbang dari bingkai jendela.

Terbang tak terkungkung,

Bersama sepasang sayap yang menyambutnya.

Mereka bersama, menembus batas suci berdua.

Bernaung di bawah kesakralan janji,

Menempuh suka dan derita, membangun sangkarnya.

Seperti biasa, sarapan yang aku lewatkan karena aku selalu kembali tidur setelah subuhan. Mumpung liburan. Aku begitu menikmati setiap waktuku. "Ibu sama ayah kemana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Shinta yang sibuk di dapur, menyiapkan makan siang.

Sejenak ia menatapku dengan mata sembabnya. Lalu kembali ke ikan yang tengah digorengnya.. "Udah ke sawah pagi-pagi tadi." Suaranya terdengar sumbang, terlihat sekali karena menangis semalaman.

Bukan hanya Riena yang berduka. Tapi orangtua wanita itu juga pasti ikut merasakan pedih. "Riena?" tanyaku lagi.

"Di kamar," jawab Mbak Shinta lesu. Mungkin karena memikirkan Riena yang selalu menutup diri di kamar setelah orangtuaku pergi ke sawah.

Aku berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. Tanganku terulur, mengusap bahu Mbak Shinta yang mulai bergetar. "Restui aja, Mbak. Riena itu anaknya Mbak Shinta. Mbak yang harusnya mengambil keputusan."

Dengan air mata berurai, kakakku menggeleng lemah. "Nggak bisa nentang ayah sama ibu, Shan. Sudahlah. Lagian ayahnya Rien juga nggak setuju. Masih kecil."

Aku lantas berdecih, karena merasa alasan Mbak Shinta terdengar begitu konyol. "Kecil dari mana? Lah wong mbak aja nikahnya umur delapan belas tahun dan Mas Bakti masih umur dua puluh tahun. Riena udah masuk usia pantas menikah, Mbak."

"Gimana ya, Shan. Mbak nggak bisa membantah orangtua kita. Selama ini, yang membiaya hidup kami kan ayah sama ibu. Mas Bakti gajinya nggak besar. Mbak nggak bisa," katanya semakin terisak.

Aku menghela napasku dalam. Rumit. Merasa buntu akan solusi, aku berjalan keluar dapur. Mengikat rambut sebahuku, lalu berjalan ke halaman belakang. Biasanya, aku mencari ketenangan dengan memberi makan hewan ternak orangtua-ku.

Ada Pak Kardi yang diberi tanggung jawab untuk mengurus ternak. Dia tinggal di sebelah rumah. Kebetulan juga memiliki anak yang seusia denganku. Anaknya laki-laki, duda beranak satu. Namanya Seno. Lelaki yang mau bekerja keras. Dia juga guru, sama sepertiku. Tapi guru SMP.

Seno itu teman sepermainanku, dan kami sempat ingin dinikahkan dulu. Tapi kami menolak, karena memang kami tidak memiliki rasa lebih selain kakak dan adik. Ya kami hanya tertawa saja, saat ayah menawarkan hal itu kepada kami.

Konyol. Lah wong kami itu dulunya kemana-mana berdua. Masih SD suka mandi berdua. Eits! Jangan mikir macem-macem. Anak kecil jaman dulu tidak seperti anak jaman sekarang. Mandi, yah mandi beneran. Walau kemudian, aku malu kalau ingat itu semua. Ya ampun! Itu tetap aja tidak boleh. Bukannya apa. Malunya itu loh, dibawa sampai besar.

Selain itu juga tahu bobroknya dia. Dia juga tahu bobroknya aku. Tidak tahu bagaimana rumah tangga kami nanti kalau kami menikah. Pasti heboh, karena kalau kami cekcok, semua unek-unek keluar bahkan sampai berujung pada jambak-jambakan.

Walau memang sekarang sudah tidak begitu. Tapi tetep saja. Kalau ketemu, pasti berantem dan ujung-ujungnya saling sindir. Lucu saja kalau kami menikah. Pasti tidak akan pernah akur. Padahal kami berteman. Tapi lebih banyak berantemnya, walau itu Cuma guyonan.

Thank You and Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang