Lima

49.7K 4.7K 162
                                    

Tolong koreksi typo, rancu juga tanda baca yah. Makasih.


BAB LIMA (Author POV)

Kumerindu pada senja yang menyambut malam.

Kumerindu pada malam yang dipeluk kelam.

Kumerindu pada hitam yang tak mengharap terang.

Sedang ku hanya siang, bukan bulan yang menyinari kegelapan.

Walau begitu, selama Shannon masih di Gunungkidul, Pras tetap menghubunginya. Bukan karena perhatian, melainkan kedok agar orangtua Shannon tak curiga atau khawatir. Andaikan menelpon pun, dia hanya bertanya sedang apa. Setelah dijawab, Pras meminta agar ponsel genggam diberikan kepada ayah Shannon.

Lebih ada banyak hal yang dibicarakan jika dengan orangtua Shannon. Berbeda dengannya yang mungkin hanya menjawab dengan satu atau dua patah kata. Namun walau begitu, Shannon harus tetap tersenyum senang seakan Pras baru saja mengucap kata cinta padanya.

Shannon sudah mulai mengepak pakaiannya. Dia akan kembali ke Yogya, sedang Riena menyusul dua hari lagi karena jadwal kuliah tiga hari ke depan kosong. Di kamarnya, Shannon menghubungi Pras. Berpamitan kepada suami sebelum pergi.

Wanita itu sedang belajar berteman dengan rasa sakit. Menerima sikap Pras, menganggap semua adalah cobaan agar semakin kuat.

Senyumnya terbit, kala panggilan pertamanya langsung dijawab oleh Pras.

"Assalamualaikum, Mas. Aku mau pamit ke Yogya," pamit Shannon sopan, dibumbuhi dengan jantung yang berdetak cepat tentunya.

"Hem," jawab dari seberang kemudian disusul dengan nada sambungan terputus.

Shannon meremas baju yang menutupi dadanya. Sakit. Selalu begitu jika dia yang menelpon. "Bulik, jemputannya udah datang!" teriak Riena dari bawah.

Segera ia hapus air matanya lalu menjawab dengan setengah berteriak. "Iya! Sebentar." Dia berdiri lalu menyeret koper kecilnya. Berhenti di ambang pintu, Shannon berbalik melihat ranjangnya yang kecil.

Malam itu, malam pertama setelah mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Shannon hanya berdiri melihat apa yang Pras lakukan. Pria itu membentang bed cover miliknya ke atas lantai. Mengambil bantal dan guling milik Shannon lalu membaringkan tubuhnya di atas sana.

"Apa kita juga akan pisah ranjang?" tanya Shannon pelan.

"Aku sudah katakan bahwa tidak akan pernah menyentuhmu. Jangan bersuara lagi. Aku harus tidur," jawab pria itu dingin.

Shannon mengigit bibir bawahnya. Ini baru hari pertama. Jika di awal saja dia sudah mengeluh, maka Shannon tak akan bisa bertahan dalam pernikahan ini. Dia menarik napasnya dalam. Batu saja bisa berlubang dengan tetesan air yang lembut. Tentu saja dia juga bisa mencairkan hati Pras yang begitu dingin dan keras. Walau semua itu butuh waktu. Dia akan bertahan.

"Kubawain bulik," ucap Rizki yang mengagetinya. Dia bahkan tidak tahu Rizki sudah ada di dekatnya. "Ayo turun," ajak pemuda itu, membawakan koper miliknya. Shannon mengangguk, lalu menutup pintu kamarnya.

*

"Iya, Shannon sudah sampai, Bu." Shannon menghubungi ibunya setelah tiba di kosan.

"Ya wes, sudah kabarin suami kamu?"

"Belum. Tadi langsung kepikiran buat nelpon ibu aja," jawabnya pelan.

"Kalau gitu telpon suamimu. Ibu matiin, assalamualaikum."

Thank You and Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang