Empat

49.4K 5K 266
                                    

Mohon koreksinya yah. Makasih.

BAB EMPAT

Bahkan kuncup bunga pun belum mekar.

Angin menerpa mematahkan tangkainya.

Indahnya cinta belum dirasakan.

Namun pahitnya sudah menyebar meracuni raga.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Shannon Nieasha binti Panji Nugroho dengan mas kawinnya yang tersebut tunai."

Sah ... sah ... saaah! Alhamdulillah!

Sebuah hubungan telah terpadu dalam akad. Terikat dalam janji suci di hadapan Tuhan Yang Esa. Wanita berusia tiga puluh dua tahun itu kini telah dipersunting oleh pria rupawan yang hadir dengan menawarkan ikatan suci tanpa jalinan cinta kasih sebelumnya.

Namun bukankah itu bisa mereka rangkai kelak? Berjalan bersama di dalam mahligai rumah tangga yang akan mereka bina. Cinta itu pasti tumbuh. Tumbuh lebih indah dengan ridhonya Sang Pencipta. Halal. Begitu katanya. Nafsu yang tercipta juga akan menuai pahala. Mereka halal. Pasangan yang telah disempurnakan dalam ikatan suci, pernikahan.

Pihak keluarga turut bahagia. Semua menangis haru karena akhirnya sang putri menikah jua walau di usia yang sudah tak muda.

Pras menoleh ke arah wanita yang kini telah sah menjadi istrinya. Miliknya yang harus ia lindungi. Dia terpaku melihat kecantikan alami dari wajah Shanon yang begitu anggun tanpa kacamata yang menempel di atas batang hidungnya.

Namun sekejapan, ia tepis rasa kagum itu. Dia tak boleh mencintai Shanon. Mengapa? Bukankah mereka harus saling mencintai? Mereka sudah menikah. Tidak boleh. Pokoknya tidak boleh. Pria itu harus membuang jauh perasaan itu.

Shannon yang baru keluar dari dalam kamar segera disandingkan di sebelah Pras. Wanita itu menunduk, tersenyum malu. Dia telah menjadi seorang istri sekarang. Dia bahagia? Tentu dia bahagia. Dia akan berbakti hidup pria ini? Ya ... karena sekarang sang suaminya lah yang akan menanggung hidupnya. Cinta? Bagaimana dengan rasa itu? Bisakah ia mencintai pria yang baru ia kenal ini? Tentu saja bisa. Karena pria ini sudah mampu menghipnotisnya, membuat ia lumpuh tak berdaya.

Mereka segera memasangkan cincin pernikahan di jari manis masing-masing. Setelah mencium tangan sang suami. Shanon terpejam saat merasakan benda kenyal dan dingin menempel di keningnya. Rasa dingin dan basah itu menghantarkan kehangatan kepadanya. Dia terlena.

*

Memang tidak ada perayaan apapun, tapi para masyarakat di sekitar tetap datang ikut merayakan kebahagiaan keluarga Panji. Para ibu-ibu banyak yang berkumpul di dapur untuk memasak, sedang para bapak-bapak asyik berbincang di halaman rumah.

Pras pun ikut bergabung, sementara Shanon yang bergabung dengan kumpulan ibu-ibu dan teman di desanya harus menahan malu karena terus mendapatkan ledeken dari mereka.

"Siap-siap nanti malam, Shan," ujar teman wanita mencolek bahunya.

"Opo, to?" jawaban itu dibuat seketus mungkin. Namun rona merah di wajahnya tak mampu menepis kenyataan, bahwa ia tengah malu saat ini.

"Tahu, Shan? Rasanya tuh pedih-pedih panas di awal. Terus baru lama-lama enak," ujar temannya lagi membuat pipi wanita ini semakin memanas.

"Huush! Saru!" tukas Luthfiyah, ibu Shanon.

Shanon langsung terkikik geli karena temannya itu kemudian diam cengengesan. Tapi malangnya itu tak benar-benar cukup membuat temannya itu diam lama. "Suamimu itu turunan wong luar, to?" tanya temannya berbisik. Shanon kemudian mengangguk.

Thank You and Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang