Empat Belas

48.7K 5K 455
                                    

Bantu koreksi yah. Mkasih.

Bab Empat Belas

Sudah satu minggu berlalu, tapi badanku masih terasa sakit. Pegal-pegal di beberapa bagian tubuh. Aku pikir balsem bisa mengurangi rasa sakitnya. Tapi ternyata tidak ada hasil. Aku masih merasa sakit hingga sekarang.

"Enak 'kan makanan di sini?"

Aku tersenyum lalu mengangguk mendengar pertanyaan Satria yang mengajakku makan siang di luar sebagai ganti karena aku selalu mengatakan sibuk selama satu minggu ini. Sebenarnya itu aku lakukan hanya agar dia tidak melihat memar di keningku. Beruntung memar itu sudah hilang. Sedikit menghitam memang. Tapi tidak terlihat jika aku menggunakan bedak.

"Oh ya, terus kapan kamu ngajar lagi?"

Aku langsung meringis. Dua hari yang lalu, Pak Supono sudah meneleponku dan menanyakan kapan aku datang ke sekolah untuk menemuinya. Tapi karena memar di keningku masih begitu kentara, maka aku menunda pertemuan kami. Tapi setahu Satria aku sudah menemui kepala sekolah itu. Jadi aku harus menjawab apa?

"Hey!"

"Ha? Oh ... belum nanya sih. Kemaren cuma ngobrol aja. Kayaknya sih satu mingguan lagi."

Berbohong sekali, maka seterusnya akan ada kebohongan yang lain. Itu pasti. Aku sudah membuktikannya barusan.

Satria mengangguk-angguk mengerti kemudian kembali melanjutkan makan siangnya yang bermenukan nasi liwet dan berbagai lauk pauk yang melihatnya saja sudah membuat aku kenyang. Satria makan begitu banyak dan yang aku tanyakan adalah lari kemana makanannya itu?

Dia tidak gendut. Malah berotot. Tapi ... bukankah pria memang tidak seperti wanita yang harus mengatur makanan apa yang boleh masuk ke dalam mulutnya? Aah ... beruntung aku tidak termasuk dari para wanita itu.

Badanku kurus. Dan semakin kurus sekarang.

"Eh ... itu suami kamu sama adik kamu, kan?"

Aku menegang. Suamiku? Belum aku menoleh atau lebih tepatnya menyiapkan diri. Tiba-tiba pekikkan nyaring Satria yang memanggil Shanas seolah menggema di telingaku.

"Kok kamu diem aja, sih? Adik sama suami kamu nyamperin tuh!"

Seperti robot, aku menoleh pelan ke belakang. "Mbak Shan?!" Adikku langsung menubruk tubuhku hingga nyaris terhuyung ke belakang.

"Nas, sesek," ujarku mengurai pelukan kami.

"Kebetulan tadi Mas Pras ke kantor aku ada urusan sama bos. Jadi tadi makan siangnya barengan aja. Eeh ternyata mbak juga di sini."

Keningku langsung berkerut mendengar penjelasan Shanas yang sama sekali tidak aku tanyakan. Lagian, tanpa dijelaskan pun aku tahu jika pasti mereka bertemu tanpa sengaja dan ingin melewatkan makan siang bersama untuk mendekatkan diri. Mungkin. Tapi yang jadi pertanyaan adalah mengapa harus makan di sini? Aku belum siap bertemu Pras.

Setelah kejadian hari itu aku menghindarinya. Jika bertemu, aku hanya akan memandangnya dengan tatapan dingin yang mengundang amarahnya--walau belum sampai tahap semengerikan hari itu. Dia hanya memandangku penuh emosi.

"Duduk, Nas," ujar Satria menarik ke belakang kursi yang ada di sampingnya. Sementara aku langsung menoleh ke sebelah kiri dan tersentak melihat Pras sudah memasang wajah datarnya.

Aku mengerjap dan kembali memandang Shanas yang tersenyum kaku padaku. Mungkin dia juga menyesali pertemuannya dengan Pras. Mungkin dari tadi dia juga hanya mendapatkan muka datar itu yang membuatnya sangat tidak nyaman. Itu terlihat dari bagaimana sikap Shanas. Jika aku jadi dia, lebih baik aku pura-pura tidak mengenal Pras. Peduli dengan ungkapan adik ipar sombong.

Thank You and Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang