Sembilan

41.1K 4.1K 479
                                    

Tolong koreksi typo, eyd, kalimat rancu dll yah. Makasih.

Bab Sembilan

Sepi itu ...

Bukan sendiri.

Tapi saat yang terkasih.

Enggan peduli.

Aku masih termenung di dalam kamarku, memandang rembulan yang tengah memamerkan sinarnya bersama kilau ribuan bintang. Mereka seakan memperolok aku yang jelas merasa sepi, sementara ada puluhan orang di luar sana yang sedang tertawa bahagia.

Setelah kepergian Satria siang tadi, aku mengikuti serangkaian acara demi acara. Begitu antusias dengan pernikahan Riena dan Anjas sampai membuatku lupa jika aku belum makan seharian.

Maag-ku kambuh dan alhasil, aku memilih untuk istirahat terlebih dahulu walau di luar masih ada acara untuk muda-mudi desa.

Aku sudah terbangun sejak satu jam yang lalu setelah memutuskan tidur lepas Isya. Sekarang sudah jam sepuluh malam dan mungkin sebentar lagi pesta dibubarkan.

Aku menghembuskan nafasku perlahan, lalu mundur selangkah untuk menutup jendela kamarku. Aku berbalik dan menyeret langkah menuju ranjang.

Ingin keluar dan ikut tertawa bersama keluarga. Tapi untuk saat ini aku sedang tak ingin berpura-pura bahagia. Jelas suasana hatiku sedang mendung, berbanding terbalik dengan langit di atas sana yang jelas tak menandakan akan turun hujan karena bintang dan bulan tengah unjuk diri seperti malam-malam sebelumnya, seakan berkata bahwa malam ini adalah malam yang indah. Tak seperti hatiku yang mungkin jauh lebih gelap dari sekedar malam.

Kubaringkan tubuhku. Meluruskan kaki dan memainkan jemari di atas perut. Enam bulan. Hanya enam bulan aku akan merasakan sebuah pernikahan--yang tak sempurna. Setelah itu aku akan menjadi seorang janda.

Ingin menertawakan aku yang bersedih dan gelisah karena hal itu? Terserah. Aku sudah bisa melihat pernikahanku di ujung tanduk dan tak mungkin aku harus bersikap sok kuat di saat aku hanya sendiri saja.

Suara decitan pintu yang terbuka membuat kepalaku sedikit terangkat untuk melihat siapa yang masuk. Tanpa membuat suara atau pergerakan yang berlebihan, aku mengembalikan kepalaku pada posisi semula dan mulai menutup mata. Aku rasa aku sedang tidak ingin melihat atau berbicara dengannya.

Beruntung lampu kumatikan, hingga dia tak menyadari bahwa aku masih belum terlelap sekarang.

Dering telepon yang terdengar membuat alisku bertaut. Bukan ponselku yang berbunyi. Tapi ponsel seseorang yang baru saja hadir menambah jumlah nyawa di ruangan kecilku ini.

"Iya ... iya. Kamu tidur kalau kamu capek. Selamat malam. I love you."

Tahu apa yang sesungguhnya ingin kulakukan? Melempar wajahnya dengan bantal--ah itu terlalu ringan. Ingin kulempar wajahnya dengan nakas yang ada di sebelahku lalu memakinya, dan menginjak-injak ketidakpekaannya atas eksistensiku di kamar ini.

Mungkin dia pikir aku sedang tidur. Tapi bisakah dia tak menelepon seseorang yang dia cintai di kamar ini, atau setidaknya jangan jika ada aku. Tak peduli aku sedang tidur atau mati sekalipun. Mengapa dia tak bisa menghargai aku?

Thank You and Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang