Dua Belas

52.5K 4.4K 430
                                    

Dua Belas

Cinta.

Rangkaian ketamakan.
Saat yang Egois memilikinya.

Cinta.

Rangkaian keindahan.
Saat yang Tulus menyerahkan semua pada kuasa Sang Pencipta.

Rasanya masih seperti mimpi. Bukan mimpi indah yang diharapkan semua orang melainkan mimpi buruk yang hadirnya tak pernah ada yang inginkan.

Sayangnya ini nyata. Tubuhku hancur, ini nyata. Hatiku remuk ini nyata. Ragaku kosong, ini nyata. Hidupku seperti puing-puing pecahan kaca, ini nyata.

Aku memandang nanar bahuku yang terluka dari pantulan cermin. Cengkraman pria itu masih berbekas beserta jejak cakarannya. Dadaku pun sama. Cakarannya saat meraih paksa bajuku. Perutku, leherku, seluruh tubuhku rasanya sakit.

Memandang sekujur tubuhku yang tak tertutupi sehelai benangpun membuat aku mati rasa. Rambutku masih berantakan dan mataku membengkak mengerikan.

Bukan tentang keperawananku yang hilang yang aku tangisi sekarang. Tapi caranya mengambil dariku yang membuatku remuk redam.

Apa salahku hingga ia begini? Apa salahku hingga sepertinya aku pantas ia jadikan keset kaki.

Aku bergerak mundur melangkah keluar dengan tertatih seolah tubuhku mengawang di udara. Aku berjalan dengan mulut terbungkam menuju kamar mandi dengan melewati tv yang menyala.

Kapan tv itu menyala? Perasaan aku tak sama sekali menyalakannya. Aku mengabaikan hal itu dan berjalan ke kamar mandi. Tubuhku terasa tanpa tulang. Lunglai dan lelah. Ya ... aku lelah.

Di kamar mandi aku membasuh tubuhku. Mengguyurnya dengan air berharap semua rasa lelahku ikut luruh dan pergi meninggalkan aku.

"Aku mau sarapan!! Buatkan aku sarapan!"

Teriakan dari luar. Aku diam dengan airmata yang tak sengaja aku jatuhkan. Mengapa aku menangis? Mengapa aku harus menangis? Mengapa hatiku sakit mendengar suaranya? Mengapa aku begini. Mengapa rasa lelahku tak mau pergi?

"Keluar!"

Sebuah teriakan lagi. Aku mengerjap. Membasuh tubuhku yang penuh sabun lalu setelah memastikan bahwa aku sudah bersih. Aku membuka pintu dan melihat wajahnya di depanku.

Mengapa dia terlihat menakutkan? Mengapa wajahnya menjijikan? Mengapa aku membencinya? Pergi brengsek!

Dia mengerutkan keningnya. Mengapa dia belum pergi? Aku sudah mengusirnya. Pergi! Pergi!

"Kenapa kamu diam?" Dia mendengus. "Tidak perlu menggoda aku lagi, Shan. Aku tidak bernafsu dengan tubuh kamu. Sekarang buat sarapan."

Aku? Menggodanya? Aku melihat sekujur tubuhku uang tidak tertutupi. Bagian mana yang bisa disebut menggoda? Seluruh luka ini? Apa? Tidak ada yang bisa disebut menggoda, kan?

Aku memandangnya lagi.

Kalau begitu tidak perlu memprotes. Kamu yang berkata tidak akan bernafsu. Jadi aku telanjang pun tidak akan berpengaruh. Benarkan? Apa yang aku katakan ini benarkan?

Aku berpikir sejenak. Memandangnya serius.

Kalau yang telanjang saja tidak membuat kamu bernafsu. Harusnya yang berpakaian semakin tidak membuat kamu bernafsu.

Aku melangkah pergi meninggalkannya dengan langkah gontai. Tapi mengapa kamu memperkosaku tadi? Aku tidak telanjang.

Air mataku kembali turun. Benar. Mengapa dia memerkosaku jika aku saja tidak menggodanya. Aku tidak merayunya. Tapi mengapa dia memerkosaku?

Thank You and Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang