Dua

70.3K 4.9K 100
                                    


Lagi. Tolong koreksi typo dan kalimat rancunya yah.


BAB DUA

Aku bukan duri, di atas jalan setapak.

Bukan pula tajam, yang memutuskan sebuah pengikat.

Aku hanya pungguk yang mengharap bulan.

Di ujung dahan, menanti keajaiban.

Sebenarnya aku memang bukanlah wanita impian. Jelas sudah kalau ada lelaki yang mengenalku, mereka pasti berpikir ulang untuk meminangku. Aku tidak suka membersihkan rumah. Aku malas, karena aku terlalu asyik dengan dunia-ku sendiri.

Kadang di kos, Riena terus mengomeliku karena aku yang jarang bahkan nyaris tidak pernah memberesi kamar kos. Tidak pernah mencuci baju maupun mencuci piring. Bukan aku tidak mau melakukannya, sebenarnya.

Ini karena dia yang terlalu banyak protes. Kadang apa yang aku lakukan selalu salah di matanya. Jadi ya sudahlah. Toh memang beginilah aku. Mau dipaksa menjadi dia pun aku tidak akan pernah bisa.

"Nggak pernah ngapa-ngapain bulek, bu! Gitu aja terus!" celoteh Riena yang tak kupedulikan.

Tapi walau tiap hari dia meluncurkan protes, keluargaku tak ada yang menanggapinya dengan serius. Bukannya mereka membelaku. Tapi mereka paham dengan Riena yang serba ingin sempurna. Jadi andai aku rajin pun, semua apa yang aku lakukan akan diulang oleh Riena.

"Kan bulek cari uang. Kamu ya beres-beres rumah. Lagian kamu tuh, boros banget kalau pakai baju. Bisa ganti berkali-kali. Jadi semua yang kamu cuci itu ya 75 persennya baju kamu sendiri. Makan juga kemayu banget. Ngabis-ngabisin perkakas dapur," balasku sembari mengulek sambel terasi yang akan menjadi menu makan siang kami siang ini.

Kata ibu, sambil terasi buatanku adalah yang ternikmat dari sambal terasi yang pernah ia cicipi. Aku tidak tahu enaknya di mana. Tapi yang jelas aku suka jika ada yang menyukai masakanku.

Riena memutar bola matanya mengacuhkanku. Kemudian dia berdiri dari kursi yang ada di dekat pintu dapur. "Males ya males aja!" timpalnya lalu pergi.

"Bapak sama anak memang nggak ada bedanya," kata Mbak Shinta dan aku hanya tertawa bersama ibu.

Dengan spatula yang masih digenggaman, Mbak Shinta menatapku. "Eh, Shan. Riena punya pacar?" tanya Mbak Shinta tiba-tiba.

Aku diam sejenak, kemudian menggeleng. Menggeleng tidak tahu, karena memang aku tidak begitu suka mencampuri urusan orang, walaupun itu keponakanku sendiri.

Kakak wanitaku itu manggut-manggut. "Tapi kok dia sering banget senyum-senyum liatin hape?" imbuh Mbak Shinta ingin tahu.

"Terus kalau Shanas?" Kini giliran ibu yang bertanya.

Kalau menyangkut pertanyaan ini, aku hanya diam. Shanas memang tidak punya pacar semenjak putus dari pacar pertamanya—yang tidak aku kenal—dulu. Tapi kami tahu kalau dia masih mencintai pacarnya itu.

Saat putus dia sempat menangis sampai tak nafsu makan. Katanya sih, laki-laki yang namanya tak kami ketahui itu harus ke luar negeri, dan kemudian memutuskan hubungan begitu saja.

Kami sih jelas tidak suka dengan lelaki itu—walau kami sendiri tak pernah tahu siapa dia. Shanas juga tidak pernah menceritakan tentang mantan kekasihnya itu. Saudaraku itu tidak pernah berbagi hal-hal pribadi. Sama sepertiku. Kami memang begitu. Tapi setidaknya kami tak pernah menyembunyikan hal yang penting.

Menurutku, laki-laki yang baik adalah yang ingin mengenal keluarga pasangannya. Jadi jelas tidak baik, kalau sama sekali tak berniat menghubungi kami untuk sekedar silahturahmi, walaupun akhirnya nanti hanya menjadi mantan.

Thank You and Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang