Hailsey
Dua pramugari yang cantik-cantik banget itu menyapa gue dengan ramah dan hangat. Balasan yang gue beri hanyalah senyuman yang nggak kalah ramah dengan tangan kanan gue penuh berisi iPod dan satu novel yang tadi gue beli di lounge.
Tempat duduk gue ada tepat di sebelah jendela. My all time favorite position of flying.
Begitu instruksi dari para awak pesawat selesai dan pesawat telah take off, gue buka handphone dan lihat foto Justin terpampang dengan gantengnya di screenlock.
"Wait me there, babe. Happy monthversary." Ujar gue dalam hati.
Gue tersenyum rindu ke layar handphone gue, lalu mendekatkan layarnya ke dada, dan gue pun tertidur.
Justin
Liters of wines are driving me crazy. Audrey semakin membawa gue ke kebebasan pikiran yang nyata dan melegakan. Dia berhasil membuat ruang tengah apartemen gue terasa lebih hangat dan nyaman. Super nyaman.
"Beautiful." Gumam gue sambil tersenyum setelah tawa Audrey mereda. Segelas wine masih setia nangkring di genggaman gue, dan nggak tau udah gelas keberapa yang itu tadi.
Audrey hanya tersenyum malu dan mulai mendekatkan tubuhnya, lagi. Tangan kiri gue merangkul dia yang langsung menyandarkan kepalanya di dada bidang gue. I think she is smiling there.
"You like it that way?" tanya gue.
"Yes," jawabnya yang dilanjutkan meminum tegukan terakhir wine-nya dan menaruhnya di meja. Lalu, tangan kirinya dikaitkan ke pinggang gue. "Kalo begini gue bisa tahan sampe pagi deh kayaknya, Just." Lanjut Audrey.
Gue tersenyum yang diikuti tegukan terakhir dari wine di gelas gue.
Setelah beberapa saat, Audrey bangkit dari gelayutnya. "Gue boleh minta sesuatu?"
"Sure." Jawab gue ramah dengan badannya yang masih berada di rangkulan gue.
"Cium gue." pintanya santai sambil menggigit bagian bawah bibirnya.
Hailsey
"Babe, i'm sorry."
"Babe? You still babe me? Man, i've said it a million times bahwa gue udah nggak mau liat lo di hidup gue lagi!" tangannya berhasil terlepas dari lengan ini.
"Hails, please.. she just, she.."
"She what? A bitch? Yes i fuckin agree with you, dumbass. I gotta go, to a better place, a better life, without you."
----
Kaki gue berhasil melangkah walau pelan sampai ke rumah. Disana ada seorang lelaki yang tak kusangka bisa datang lagi ke tempat ini, tanpa permintaan apapun. Seakan tak peduli, aku langsung pergi menghentak ketika tangannya sukses mendarat di pergelanganku dan membuat hatiku lemah, pandanganku buram.
"Gue tau lo marah sama gue, gue tau lo benci dan nggak pengen lagi ada gue. Tapi please, give me one more chance. I already home."
Dengan tubuh yang tak bereaksi, air mataku turun deras seakan marah dan bosan dengan tempat asalnya. Lagi-lagi dia..
----
"Sorry, Ms? You've arrived at your destination." tangan gue dipegang.
Kepala gue menegak, dan kaget. "So that was just a dream?" tanya gue heran setengah mati ke pramugari yang bangunin gue barusan.
"Sorry?" dia terlihat bingung.
"Oh, sorry, i just.. oh, yes, ok, thanks for waking me up." Jawab gue setelah kesadaran gue kembali penuh dan bergegas untuk turun dari pesawat yang benar-benar tinggal gue sebagai passenger.
Sambil nunggu koper dateng, gue nggak berhentinya mikirin tentang kejadian di pesawat tadi. I dreamed about someone, dia seperti memohon-mohon ke gue untuk dimaafkan. Tapi namanya aja mimpi, terkadang semua hal yang ada di mimpi itu bisa jelas bisa nggak, jadi gue nggak terlalu mengenal siapa dia yang hadir di mimpi gue tadi.
Dan sekarang, gue tetap nggak bisa menyimpulkan apakah yang tadi gue rasakan itu mimpi indah atau buruk.
"Maddox Street, Sir." Ucap gue setelah tubuh yang penuh dengan ransel dan mantel tebal serta koper ini berhasil memasuki mobil sedan berwarna kuning tersebut. Taksi.
Sopir taksi gue hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyum.
Sekarang pukul 7.30 PM, and i really exhausted with that damn long trip. Tapi rasa lelah itu perlahan hilang ketika gue lihat kota London yang benar-benar indah lewat kaca mobil. Eh, maksud gue taksi. Dari bangunannya, ramai orang-orangnya, keadaan lalu lintasnya, dan masih banyak lagi. Gue perlahan tersenyum ketika mengingat apa tujuan gue datang kesini.
Gue mengambil ponsel di ransel gue tadi, mengaktifkannya dan langsung men-dial nomor Justin.
Tidak diangkat.
Baru setelah gue akan men-dial lagi nomornya, sesuatu muncul di layar tanpa gue duga.
Ricky : Kalau udah sampe SMS gue, ya. Hati hati di negeri orang, sendirian.
Bahkan Justin yang nggak gue kasih kabar dari semalem aja nggak nanyain kenapa nomor gue nggak aktif selama hampir seharian tadi, yang walaupun akan gue balas dengan kebohongan karena nggak mau surprise gue nanti gagal dengan memberitahunya bahwa ponsel gue nggak aktif karena lagi terbang ke London. Tapi Ricky? Begitu gue mengaktifkan ponsel aja langsung masuk SMS dia tadi yang baru masuk sekarang.
Sebenarnya pacar gue tuh Justin atau Ricky, sih?
---------
hayo, penasaran kaaan sama apa yang terjadi dengan Justin dan Audrey? gue nggak tega liat Hailsey hahahahha. makanya pantengin terus yaa wattpad nya biar ga kelewat update ini hihihi.
oh iya, jangan diem aja dongg yang lagi baca. vomment vomment jangan lupa! mwah! xx
KAMU SEDANG MEMBACA
Already Home
FanfictionProlog Hai. nama gue Hailsey. Gue tinggal di Canada bareng Mama gue, karena Papa terlalu sibuk jadi dia ga bisa sering-sering di rumah. Umur gue 18 tahun baru beberapa hari kemaren, dan baru juga masuk tahun terakhir di SMA. Hidup gue gini gini aja...