25

68 4 1
                                    

Justin

"Are you completely joking?" jawab gue yang menjadi pertanyaan sekarang setelah permintaan Audrey tadi. Rangkulan hangat dari tangan ini gue lepas, dan terbelalak kaget. She asked me to kiss her. Should I?

Audrey tersenyum. "Katanya gue boleh minta sesuatu?" yang selanjutnya diperlihatkan dia dengan perlahan dada gue disentuh.

Okay, the most obvious thing you should know is, the perfection of her. In everyway. Pertama gue kenal dia emang bukan dengan cara tabrakan dan ngambilin buku dia yang jatuh, tetapi gue langsung diberi kesan pertama tentang bagaimana dia berbicara dan tertawa akan hal-hal yang gue nggak ngerti dimana sisi lucunya.

Dari semua first impression yang gue dapatkan dari seorang Audrey, gue nggak pernah mengira bahwa sebenarnya dia adalah seorang wanita yang sebegitu lancangnya, bahkan ke sahabatnya sendiri. Gue bukan bermaksud untuk menilai Audrey yang sekarang sudah gue kenal ini tidak sebaik ekspektasi, ya. Tapi gue mau tanya aja, otak dia kemana?

Gue punya Hailsey, man.


Hailsey

Suara ketukan langkah kaki gue menggema di lorong menuju kamar hotel. Ya, gue nggak mungkin dateng ke apartemen Justin malam ini langsung karena niat gue sudah bulat untuk kasih kejutan dia pagi-pagi besok. Can't wait!

Tubuh mungil nan unyu ini terhempas indah di kasur. Perjalanan panjang bikin badan gue cukup lelah. Gue pejamkan mata, menikmati empuknya kasur dan sejuknya udara disini, sampai gue teringat sesuatu..

Gue belum kasih kabar ke Ricky kalau gue udah sampai!

Me : Hey, Rick. Gue baru aja sampe hotel, nih. Capek banget mampus.

Nggak lama, Ricky langsung bales pesan singkat dari gue.

Ricky : Gile lebay banget, sih, lo. Manja. Yaudah istirahat sono. Biar besok ketemu Justin muka lo udah seger nggak kaya lipetan karpet.

Kurang ajar.

Me : Lo berani ya, sama gue. Tunggu aja. Nggak gue masakin cheese pasta lagi nih.

Ricky : Eh, jangan dong. Cheese pasta buatan lo itu penunjang kelangsungan hidup gue. Jangan, jangan. Ntar gue mati.

Me : Iya, terserah lo deh, Rick. Gue capek. Mau tidur. Bye.

Selalu seperti itu. Ricky selalu menjadi yang pertama hadir saat gue lelah, butuh bantuan, dan sejenisnya. Gue bukannya menomorduakan Justin, tetapi itulah yang ada di depan gue sekarang. Selama nggak ada Justin gue bersyukur Tuhan masih baik memberikan seorang sahabat yang pengertian kaya Ricky.

Sesak di dada ini nggak bisa gue bendung. Gue benar-benar kangen sama Justin. Dan sekarang, gue udah ada di satu kota sama dia. Satu udara, satu tapakan kaki, satu timezone, satu rasa.

Tapi tekad gue udah bulat; nggak mau ngasih tau dia kalau gue udah disini. I just wanna make him to be a happiest boyfriend ever.

Me : Hey :)

Satu pesan singkat akhirnya terkirim ke Justin. Seharian ini dia nggak muncul di conversation list ponsel gue. Makanya baru kali ini rasanya deg-degan, padahal cuma SMS Justin doang.

"Tau ah. Capek." Gumam gue sendiri setelah menunggu balasan Justin beberapa menit sambil membenamkan kepala ke bawah bantal dan berusaha melupakan pikiran-pikiran negatif yang muncul daritadi. Sampai akhirnya gue tertidur disana.


Justin

Lumatan bibir Audrey dengan bibir gue terhenti ketika tatapannya meminta izin untuk mengambil cokelat-cokelatnya yang ada di meja. Tanpa anggukan dari gue, dua cokelat yang barusan tadi diambilnya mendarat di tangan gue dan dia masing-masing.

"Makan, ya. Gue tau lo suka cokelat." Ujarnya.

Dengan tubuh Audrey yang bergelayut santai di dada gue, sofa ruang tengah apartemen ini sukses dibuatnya menjadi semakin panas. Ternyata dua buah pendingin udara di dinding-dindingnya nggak cukup.

"Enak nggak?" tanya Audrey setelah cokelatnya gue makan habis.

"Hmm," Gue mengangguk.

"Gue yakin lo tau apa yang lebih enak dari itu." Godanya.

Gue nggak pernah semabuk ini sebelumnya.

And then, her lips landed on mine again.


Hailsey

"He's cheating on you. Trust me."

---

"You waste your time. Come home and forget him."

---

"I promise i won't do that again. Hails, listen to me!"

---

"Giving up is immature. Let's find out the best way."

---

Gue bangun dengan keringat yang mengucur dari ujung kepala. No wonder, gue mimpi buruk. Shit. Mimpi gue barusan punya rasa yang sama kaya mimpi waktu di pesawat. Sekarang masih jam 3 pagi tapi gue udah nggak punya gairah untuk tidur lagi. Rasanya pengen nemuin Justin sekarang dan peluk dia karena gue nggak ngerasa nyaman sama sekali sekarang. Gue butuh tenang. Dan tenang gue itu cuma Justin.

Dia pasti masih tidur disana. Entah siapa dan apa yang menjadi mimpinya, gue pengen berusaha masuk ke situ, membangunkan dia dan bikin dia cari seorang Hailsey disini.

Gue nggak menyerah. Gue ambil ponsel di nakas, dan langsung speed-dial nomor Justin.

Selama gue mencoba untuk benar-benar tenang dengan mendengarkan semua musik klasik yang ada di music player ponsel, keberhasilan sama sekali tidak memihak sedikitpun. Bayangan gue tentang hal-hal negatif tentang Justin berkeliaran tidak keruan di dalam kepala. Sekarang masih pukul 4 AM dan nggak mungkin gue pagi-pagi buta begini naik ke apartemen Justin dan gedor-gedor pintu.

Akhir-akhir ini Justin nggak pernah yang namanya ninggalin gue sehari aja. Bahkan kalau dia sedang sibuk di kampus, dia masih sempat kirim pesan atau telpon dan mengatakan apa yang sedang dia lakukan. Tapi buat hari ini, Justin nggak ngabarin gue sama sekali dari sepagian sampai pagi lagi.

Justin..

Where are you now?


OMG FINALLY I UPDATE THIS AFTER A LONG WHILEEEE wkwk sorry for suspending the existance of this fanfic bc i was so busy with school stuff ugh but semoga kalian suka part ini dan setia nunggu yang selanjutnya. dont forget to vomment! it means the woooorld to me. jangan jd silent reader ya :* mwaaaaa! 

Already HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang