Prologue

1.7K 74 9
                                    

Tepat sehari sebelum kecelakaan.

Malam yang dingin membalut atmosfer kehangatan keluarga Meiryo yang tengah bercengkrama ria di dalam perjalanan panjang mereka. Senyum lebar menghiasi wajah cantik gadis kecil bernama Leana. Menurutnya, tidak ada yang paling bahagia selain mendapatkan kasih sayang keluarga. Meski cuaca yang tak mendukung suasana hati, Leana rasa cukup untuk meredakan kegundahan yang telah melandanya akhir-akhir ini. Ia pikir meluangkan waktu bersama keluarga merupakan ide terbaik. Walau ia tahu, masih ada sesuatu yang masih mengganjal. Leana tak sepenuhnya merasa bahagia. Atau bahkan, Leana tak pernah merasa bahagia.

Leana melirik cincin perak di jari manis tangan kanan ibunya. 'Ia terlihat cantik' puji Leana. Kemudian pandangannya beralih pada anting kristal yang cukup mewah. Dan seluruh aksesoris yang tengah ibunya pakai ia tatap secara bergantian. 'Ibu bilang baru pulang dari kerja. Sampai lupa untuk melepas semua aksesorisnya. Padahal kita mau jalan-jalan ke luar kota' pikirnya. 'Tapi untuk apa memakai aksesoris sebanyak itu pada saat kerja?' batinnya berkecamuk. Leana menggeleng cepat, membuang seluruh argumen-argumen yang berdebat di dalam benaknya. Ia mencoba untuk tidak peduli, persis seperti apa yang kakaknya lakukan. Ruvana Meiryo, remaja berumur tujuh belas tahun yang merupakan primadona di sekolahnya. Cantik, pintar, baik dan ramah. Begitu orang-orang menyebutnya. Ia hampir mirip dengan Leana. Namun Ruvana tidak memiliki sifat berani Leana yang diturunkan oleh ayahnya. 'Leana itu berbeda dengan Ruvana. Ruvana memiliki segalanya, sedangkan Leana tidak. Tapi satu yang Ruvana tidak punya. Ruvana terlalu takut untuk menghadapi hal yang baru' tulis Leana dalam buku diarinya dua minggu yang lalu.

'Aku akan membuat sebuah cerita. Judulnya Putri Siang dan Troll Senja. Ruvana menjadi putri, dan aku menjadi troll. Perubahan dari siang ke senja tidak memakan waktu yang lama. Karena kami berdua hampir sama' tulisnya lagi. Kini mata Leana menangkap sosok ayahnya yang tengah mengemudi mobil. 'Aku tidak tahu apa-apa tentang ayah' Leana seringkali menulis kalimat ini hampir di semua lembar buku diarinya. 'Padahal aku ingin mengajaknya bicara, tapi ia selalu bilang tidak ada waktu'

'Aku ingin mengenal ayah. Aku ingin tahu sosok ayah itu seperti apa.'

'Aku memiliki ayah, tapi aku tidak pernah merasakan bagaimana hangatnya pelukan seorang ayah'

Leana kembali dihantui oleh rasa gundah. Ia tahu, dirinya tidak akan pernah mengenal apa itu bahagia. Bersandiwara itu menyakitkan. Menyembunyikan amarah dibalik senyuman, menahan diri sendiri agar suasana terus mengalir seperti air. Tanpa harus menabrak bongkahan batu untuk tetap menjaga suatu ketenangan dalam sandiwara. 'Kenapa tidak diungkapkan saja? Mengungkapkan apa yang mengganggumu. Kurasa dengan begitu semuanya akan membaik'

Leana memejamkan kedua matanya. Mencoba untuk tidur, berharap agar hari penuh kesandiwaraan ini cepat berakhir. Ia mendengar ucapan ibu dan ayahnya sebelum ia benar-benar terlelap.

.

.

.

'Dan hari itu, merupakan hari terakhirku mendengar ucapan selamat malam dari kedua orang tuaku.'

***


UndertaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang