A/N: Part ini merupakan chapter terakhir dari Myth. Thx for ur attention. Happy reading~
***
Leana menoleh ke kanan-kiri dengan cepat. Ia jelas sekali mendengar bisikan barusan tepat di telinganya yang membuat bulu kuduknya berdiri. Leana mencoba untuk tak menghiraukannya. Tetapi suara barusan seakan-akan memaksa otak Leana untuk tetap berngiang di benaknya. Matanya ia pejam erat-erat. Menarik selimut hingga menutup wajahnya. Ia takut sesuatu menegangkan akan muncul tiba-tiba di depannya ketika ia membuka selimut.
Leana mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arahnya. Pelan..seolah-olah tak mau membuat kegaduhan. Rasa takut terus menyerang Leana. Ia menelan ludah susah payah. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya. Leana sangat takut sesuatu buruk akan terjadi padanya. Lalu..
Srek!
Selimut Leana terbuka. Seseorang sudah menariknya dan melempar ke sembarang arah. Ia menatap siapa seseorang yang telah melakukannya. "Ruv?" tanyanya bingung. Ruvana menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Seharusnya aku yang keheranan. Kenapa wajahmu seperti sedang diteror oleh penguntit?" ujarnya, menarik kursi untuk duduk di samping ranjang. Leana mendesah lega. Mungkin yang barusan adalah hal wajar bagi para korban kecelakaan. Biasanya, tingkat keparnoan orang yang baru saja kecelakaan melonjak tinggi. "Aku pikir ada hantu," katanya.
"Hantu? Aku khawatir justru hantu yang akan takut padamu," balas Ruvana. Leana mengangguk sembari terkekeh dan melanjutkan candaan dengan kakaknya.
Setelah dirasa moodnya perlahan membaik, Leana seakan siap untuk menceritakan hal yang terjadi sebelumnya. Ia berdeham pelan. "Aku melihat anjing," ia membuka topik pembicaraan. "Anjing putih menyebalkan," lanjutnya. Ruvana memiringkan kepalanya. Menyimak tiap-tiap perkataan Leana. "Ia duduk di tengah jalan sambil menatapku. Aku mencoba untuk menggiringnya pergi dari sana. Tapi ia malah kabur," Leana menghela napas. Nada bicaranya mulai serius.
"Aku tidak tahu kala ada mobil yang akan menerjangku. Setelah tubuhku terpental mencium aspal,"
"Aku merasakan perihnya luka kepalaku yang sobek, detak jantungku yang melemah, hingga aliran darah yang keluar lewat hidung. Aku tidak bisa bergerak, seolah tak punya tulang,"
"aku bingung kenapa indera perasaku masih berfungsi. Pertanyaannya, kenapa nyawaku tidak dicabut saja. Ditambah lagi seekor anjing aneh itu muncul lagi dihadapanku sambil berbicara. Dia mengatakan hal-hal aneh tentang dongeng...aku tidak mengerti.."
"Ruv, kurasa aku sudah gila,"
Ruvana menghela napas. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Kapan.." katanya. "Memangnya kapan...adikku pernah waras?" lanjutnya, menerawang langit-langit kamar. Leana menoleh cepat.
"Dari dulu kau tidak pernah beres! Wajar sajalah! Jangan heran jika kau bisa mendengar anjing berbicara," kekehnya. Oh ayolah Ruvana. Disaat-saat seperti ini ia masih bisa bercanda? "Ruv.."
Tapi Leana mengerti kenapa. Ruvana tidak mau melihat Leana yang depresi. Ia hanya ingin mengembalikan senyuman manis Leana. Ia ingin Leana segera melupakan kenangan pahit yang baru terjadi tiga hari lalu. "Tidak usah khawatir. Kau memang gila," ia lagi-lagi tertawa. Leana tersenyum. Ia senang merasa terhibur. Meski sebenarnya ia mengatakan hal itu semua dengan nada serius. Ia berniat sungguhan, tapi kakaknya menghancurkan momen duka barusan. Sehingga Leana memutuskan untuk tak lagi membahas hal tersebut. Ia akan membiarkan semuanya berjalan seiring waktu. Mengingat semua kejadian masa lalu justru membuatnya tambah sakit.
"Emm Ruv, soal bukuㅡ" ucap Leana terputus. Ia mengerling sebentar kearah buku yang ada di atas meja itu. "Kenapa?" tanya Ruvana penasaran. Leana menggigit bibir bawahnya. Ia menggeleng, mengurung kembali niatnya untuk menceritakan apa yang terjadi lima menit sebelumnya. "Tidak apa-apa," lanjut Leana.
***
(Klik suara di samping untuk dapat feel yang lebih saat membaca paragraf-paragraf berikut)
Malam pekat di kediaman Meiryo.
"Ruv..lampunya mati lagi," ujar Leana mengusik tidur nyenyak Ruvana. Ia memicingkan matanya demi mendapati wajah Leana yang menyembul dari balik pintu. Samar-samar ia melihat sorot ketakutan dari kedua manik Leana yang dibantu oleh pantulan sinar bulan dari luar jendela. Ruvana bangkit dari tempat tidurnya, kemudian menggandeng lengan Leana untuk mengikutinya ke ruang bawah tanah yang hanya berbekal sebuah lilin. Setelah lampu kembali menyala, Leana terus saja mengekori kemana perginya Ruvana. Seolah ada lem perekat yang menempel padanya. "Kembalilah ke kamarmu. Tidur," perintahnya.
"Aku tidak mau sendirian," Leana mengeratkan pegangannya pada ujung piyama Ruvana. "Kupikir ada sesuatu di kamarku," tambahnya.
"Sesuatu?"
Leana mengangguk. "Itu semua hanya halusinasimu. Kau baru pulang dari rumah sakit, jadi hal seperti itu wajar saja terjadi," jelas Ruvana yakin. "Tapi aku takut."
"Tidak usah khawatir. Kemari, akan kuantar ke kamarmu," Ruvana kembali menarik lengan Leana menuju kamar adiknya. Ia membuka pintu kamar. "Tidak ada apa-apa, kan? Nyalakan saja lampunya jika kau mau," katanya setelah melihat ruang kamar Leana yang terang. "Baiklah, terimakasih Ruv," ia melepas genggamannya dan kembali berbaring di atas kasur. Ia menarik selimut hingga menutup kepala. "Selamat malam," ucap Leana dari balik selimut. "Selamat malam. Sleep tight," sahutnya sembari tersenyum tipis. Ruvana menutup pintu perlahan, terdengar langkah kakinya makin menjauh dari balik pintu.
Leana terpejam. Berusaha memasuki dunia mimpinya. Namun ia tak kunjung terlelap. Dirinya gelisah, seolah ada sesuatu yang mengganjal. 'Senyuman itu..mengingatkanku pada seseorang,' batinnya berbicara. 'Seseorang yang selalu ada di mimpiku. Entah siapa.'
Leana membuka selimutnya. Ia bangkit dari kasur, berjalan menuju cermin besar di samping lemari. Ia menatap pantulan dirinya di cermin tersebut. 'Apa aku..sungguh Leana?'
'Pertanyaan bodoh, memang. Tapi aku merasa...' Leana membulatkan matanya. Ia menyadari ada yang aneh pada pantulan dirinya. Siluet aneh tiba-tiba lewat sekejap di hadapannya. Ia tersentak kaget. 'Aku merasa..ada diriku yang lain di dalam tubuhku.'
Dongeng..dongeng..dongeng..
'Oh tidak. Suara ini lagi.'
Kau harus percaya..kau harus percaya..
'Kenapa mereka terus memaksaku?!'
Kau harus percaya..untuk melanjutkan ceritanya..
'Hentikan..'
Kau harus percaya pada dirimu sendiri. Kau istimewa, manusia.
'...'
Tidak ada yang bisa menghancurkan tekadmu.
"..."
Leana menunduk, memejamkan kedua matanya erat. Namun ada yang aneh, sedetik ia merasakan kehampaan, kemudian ia merasa sesuatu tengah mengelilinginya. Ia membuka mata, mendapati panorama bunga-bunga berwarna kuning keemasan tersebar di sekitarnya. Leana mendongak. Ada sebuah gunung disana. Ia berlari mendekati gunung tersebut, dan cerita dongeng itu seolah-olah kembali terngiang di benaknya.
Dahulu kala, terdapat dua ras yang menguasai seluruh bumi: Manusia dan Monster.
Suatu hari, terjadi peperangan antara kedua ras tersebut.
Setelah lamanya peperangan berlangsung, ras manusia yang menang.
Mereka memutuskan untuk mengunci para monster di bawah tanah dan menyegelnya dengan sihir.
Beberapa tahun kemudian...
Muncullah sebuah legenda..siapapun yang memanjat gunung Ebott,
Leana akhirnya menginjakkan kakinya di gunung tersebut. Ia menatap lubang besar yang terkena pancaran sinar matahari. Entah kenapa kakinya seolah ingin ia terjun ke bawah sana.
.
.
.
Tidak akan pernah kembali.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Undertale
MaceraHanya ada dua kenyataan dalam kisah ini. Akhir yang bahagia, atau buruk. Kau tidak bisa memilih. Tapi pilihan yang akan mengikuti kata hatimu. Jangan biarkan tekadmu berguncang. Karena kau akan tahu apa akibatnya, dan melihat apa akhirnya. --- Rank...