Empat tahun lalu, aku meninggalkan tanah air untuk melanjutkan studiku. Mengambil jurusan Hubungan Internasional karena aku selalu ingin menjadi bagian dari salah satu perubahan yang terjadi di dunia. Karena aku memiliki mimpi untuk melihat hari esok lebih baik.
Sejak SMP aku selalu dijadikan "Juru Bicara" untuk mewakili aspirasi kelas, atau menjadi "Pengacara dan Juri" dalam menyelesaikan kasus kecil-kecilan. Tapi, aku tidak pernah bergabung dengan OSIS ataupun kegiatan ekstrakulikuler lain. Aku lebih sering menghabiskan waktu-waktuku di perpustakaan. Ketika SMA aku tetap sama, bahkan banyak orang yang tidak suka padaku karena kami memiliki pandangan yang berbeda.
Aku bukan anak gaul yang senang pergi bersama dengan teman-teman hanya untuk sekedar mengobrol atau bergosip. Aku lebih senang sendiri, atau berada di kantor guru untuk membantu menganalisis nilai teman-temanku.
Siapa yang menyangka, anak sepertiku dapat mendapatkan beasiswa untuk belajar di luar negeri. Melihat dunia.
Pada awalnya, aku ragu untuk berangkat. Tapi, aku harus untuk mewujudkan mimpi dan ambisiku, aku harus berangkat. Dengan modal nekat aku meninggalkan tanah air dan sekarang aku akan kembali.
Dan, Hujan. Aku harap aku dapat bertemu dengannya lagi.
"Sha! kamu ngelamun lagi!" Ah, Marlin teman sekamarku selama di asrama kampus.
"Enggak, cuma lagi liatin awan aja" ya mencoba mengelak tidak ada salahnya.
"Aku tahu, kamu pasti lagi mikirin dia kan? Ayo ngaku!" Marlin, dia selalu senang memojokkan orang.
"Eh, siapa? Bukannya kamu tuh yang kerjaanya mikirin Aldo terus?!" Ha! Strike one!
"Ya iyalah, masa gak dipikirin. Dua tahun aku pacaran sama dia, masa dia gak aku pikirin sih! Emang kamu, single permanent!" Anak ini terkadang benar-benar menyebalkan."Oh iya, aku hampir lupa. Ada teman Aldo yang mau ketemu sama kamu" Aku harap ini bukan kencan buta... lagi.
"Ini, bukan akal-akalan kamu aja kan yang mau sok-sok jadi matchmaker?" tanyaku curiga.
"Bukan, serius deh. Katanya dia temen kamu" ah, siapa pula teman yang lama hilang dan mau kembali lagi ini?
"Temen yang mana? Kan temenku cuma kamu! Kamu bohong ya? Ayo ngaku! Mau main jodoh-jodohan kan! Iya kan!"
"Eh Shaira, gak boleh marah-marah nanti cepet tua dan kamu makin gak laku" Ugh! Marlin ini."Sha, kata Aldo dia itu Dokter. Kamu punya temen yang anak kedokteran emang?" kenapa jadi dia yang balik nannya?
Aku mendekatinya hingga jarak wajah kami hanya satu jengkal "Aku kan udah bilang, temen aku ya cuma kamu sayangku, cintaku, manisku"
"Sha, please aku masih normal" jawabnya sambil melambaikan tangannya memintaku menjauh darinya.
Baru aku mau mengganggu Marlin lagi, suara pramugari sudah terdengar di kabin memberitahukan kami bahwa pesawat akan segera mendarat.
Ini dia, aku akan kembali. Aku akan kembali. Aku akan memenuhi janji kita akan esok hari.
*Flashback*
Hari ini kami berjanji untuk bertemu ditaman. Sudah satu tahun kami tidak bertemu. Dia, dia selalu sibuk."Shaira?" Ah, suara itu. Suara yang aku nanti selama satu tahun lamanya. Aku membalikkan badanku, dan disana dia berdiri, tepat dibelakangku.
"Hujan! Aku pikir kau tidak akan pernah datang" Setidaknya aku berhasil mengucapkan beberapa kata dengan benar.
Meletakan kedua tangan di jantungnya "Aku? Tidak datang?" Jawabnya seolah olah dia terluka. "Ya, mungkin juga kau tahu kan aku sibuk" oh aku selalu senang ketika dia berada dalam mood untuk main-main.
"Ya, kalau kamu gak dateng aku justru untung. Tahu kenapa?" Jawabku dan dia menggeleng atas jawaban dari pertanyaanku. "Karena hari ini aku membuat tumis ikan sepat dan seandainya kamu tidak datang aku kan jadi tidak perlu membagi makan siang ini denganmu".
"Sha.... Please, aku kan cuma bercanda. Lihat aku disini kan? Mana makan siangku? Sha, jangan siksa aku. Kamu tahu kan, makanan di asrama gak terlalu yaa kau tahu lah, please Sha, aku suka banget sama tumis ika sepat. Ayo, mana? Tunggu, kita cari tempat duduk dulu yang nyaman" Tumis ikan sepat, cukup itu sebagai ancaman dan dia sudah pontang panting.
"Kita makan di atas bukit, gimana?" Saranku.
"Selalu" jawabnya sambil tersenyum "ayo, cepat aku sudah lapar" katanya sambil menarik lenganku.
Tiba di atas bukit, tempat kami pertama kali berbaikan, ya berbaikan. Sejak Taman Kanak-Kanak kami bagaikan kucing dan anjing, tapi setelah enam tahun tidak bertemu, kami justru menjadi sahabat yang tak terpisahkan walaupun dia bersekolah di pesantren modern dan aku tetap di sekolah umum kami selalu menyempatkan untuk bertemu walaupun hanya setahun sekali di saat libur lebaran.
Dia, dengan lahap menghabiskan makan siang yang aku bawa. Makanan sederhana, selama itu dibuat dengan baik sudah cukup dan kita harus selalu bersyukur untuk itu. Itu yang selalu ia katakan.
Dia menatapku, kemudian menunduk "Sha, besok aku pergi" katanya.
Pergi? Seolah olah itu berita baru "kan kamu tiap-tiap juga pergi. Emang kamu mau pergi kemana?" Tanyaku.
Dia seolah olah menimbang nimbang sebelum akhirnya menjawab "aku, aku mendapat beasiswa dan akan melanjutkan ke universitas lebih awal, aku akan pergi ke Jerman"
Jerman, tapi itu 10979.84 km jauhnya dari sini "kapan kamu berangkat?"
Menatap ke kejauhan dia menjawab "malam ini".
Itu berarti kemungkinan kami untuk bertemu akan semakin kecil. "Aku senang kamu akan berangkat. Berarti ini perpisahan?".
"Tidak, ini bukan perpiasan. Sha, kita selama ini tidak pernah berkomunikasi selain melalui perantara Patu. Dan sekarang kita tidak akan bisa menggunakan jasanya lagi. Dulu ketika kecil aku sempat kehilangan teman untuk bertengkar, aku berhasil menemukanmu lagi, dan sekarang giliran aku yang akan meninggalkanmu. Aku berjanji aku pasti akan menemukanmu lagi" benarkah? Dia akan? Tapi kapan kami akan bertemu lagi? "Untuk itu, aku mau kamu berjanji".
"Janji? Apa?" Tanyaku gugup.
"Kamu harus berjanji, kamu akan selalu menggunakan kerudungmu, kamu harus berjanji kamu akan mengejar mimpimu untuk menjadi bagian dalam menciptakan perdamaian, kamu harus berjanji kamu tidak akan putus asa hanya karena orang-orang disekitarmu berpikir kamu tidak mampu, kamu harus berjanji setiap malam atau setidaknya satu minggu sekali kamu akan menulis sebuah catatan untukku agar ketika kita bertemu lagi nanti aku tahu apa saja yang terjadi padamu, dan yang terakhir kamu juga harus berjanji bahwa kamu tidak akan pernah melupakanku. Janji ini adalah janji akan hari esok, kamu harus menepatinya, Sha"
"Aku akan berjanji, selama itu juga berlaku padamu" itu tidak akan adil jika justru nanti malah dia yang melupakan janji janji itu.
Dia tersenyum "tentu saja Sha, aku juga berjanji. Janji akan esok yang harus kita tepati, setuju?"
"Aku setuju" jawabku tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Akan Esok
Romance"Aku sudah mulai meyusun rangkaian puzzle itu, kau tahu" Jawabannya membuatku bingung, mungkinkah dia sudah menentukan pilihannya? "Bagaimana kamu memulainya?" aku memberanikan diri untuk bertanya. "Aku memulainya saat aku menemukanmu kembali" Sebua...