09. Surat

67 6 3
                                    

Zandan menarik nafas panjang dan kemudian menghembuskannya kembali. "Tapi, aku gak tahu apa sekarang ini waktu yang tepat atau enggak untuk cerita."

Kini giliran aku yang menarik nafas panjang, aku tidak menyadari selama ini aku menahan nafas menunggunya bercerita. "Kalau kamu mau cerita, cerita aja dek. Kakak gak apa apa kok" kataku.

Zandan hanya mengangguk, siap untuk bercerita tetapi kemudian keluargaku datang, juga keluarganya Naufal.

Mama didampingi Naizar berjalan bersisian, begitu juga Bunda dan Remon. Ketika Mama melihat aku yang berlumuran darah, ia tak kuasa lagi membendung tangisnya. Mama langsung menuju kearahku, memelukku dan menangis.

Aku yang sudah berusaha untuk menghentikan tangisanku sejak satu jam setengah yang lalu kini akupun kembali ikut menangis, ketakutanku kembali muncul. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Naufal? Bagaimana kalau dia meninggalkanku lagi?

Mama kemudian melihat Zandan yang sedang duduk sambil menundukkan kepalanya. Mama melepaskan pelukanku dan segera menuju kea rah Zandan.

"Sedang apa kamu disini? Kamu adiknya si Zahra itu kan? IYA KAN?!" Mama lagi-lagi menangis terisak "APA YANG KAMU MAU HAH?! MEMASTIKAN ANAKKU MATI?!" Mama mulai memukul-mukul Zandan dan Zandan hanya diam menerima semua itu.

"Mama, jangan. Zandan yang membantu dan menemaniku dari tadi, jagan. Dia gak salah Ma, Zandan gak salah" kataku menarik Mama agar berhenti memukuli Zandan.

Mama kemudian kembali duduk ditemani oleh Bunda, Kakakku Remon kemudian memelukku untuk beberapa saat "Dia gak akan kenapa napa, dia pasti bakalan baik-baik aja Sha, kamu jangan nangis lagi" kakakku berusaha menenangkanku.

Kami menunggu dengan hati yang kalut selama empat jam kedepan, hingga akhirnya seorang dokter keluar. Aku familiar dengan wajahnya, dia salah satu teman satu profesinya Naufal. Dia langsung menghampiri Mama dan Naizar. Sepertinya mereka memang sudah saling mengenal.

"Issa, bagaimana keadaan Issa, Ki?" tanya Mama tidak sabar. Aku segera menghampiri Mama dan Mama merangkulku.

"Issa sudah baik-baik saja, dia beruntung karena lukanya hanya berada di dekat jantungnya, sedikit saja pisau itu lebih dekat, maka kondisinya mungkin akan berbeda. Tapi, Mama saat ini tenang saja, Issa akan segera dibawa kekamar perawatan, dia akan sadar paling lama 48 jam lagi" Kata Rizki menjelaskan keadaan Naufal pada Mama.

Rizki yang menyadari kehadiranku, dia tersenyum "Dia akan baik-baik saja Sha" katanya meyakinkan.

"Kapan kami bisa melihat Issa?" Tanya Naizar.

"Paling lama satu jam lagi, kamar untuknya sedang disiapkan" jawab Rizki dan kemudian ia pamit meninggalkan kami yang kemudian bernafas lega.

Bunda yang sejak tadi selalu berada didekatku kemudian menyuruhku untuk pulang dan menyuruhku untuk beristirahat. "Besok pagi, baru kamu kembali lagi kesini. Lagi pula kamu harus mandi nak" kata Bunda mencoba bergurau walaupun gurauannya itu benar, aku memang butuh mandi. Aku akhirnya mengangguk menyetujui usulan Bunda.

Bunda, aku, dan Naizar kemudian pulang sementara Mama, Remon, dan Zandan tetap berada di rumah sakit. Menemani Naufal.

Perjalanan menuju rumah seolah sangat cepat dan tak terasa, kejadian tadi sore terus membayangiku. Terus bermain, di putar ulang berkali-kali. Setidaknya Naufal selamat. Rizki juga sudah mengkonfirmasi itu.

Tiba di rumah, aku langsung naik ke atas, menuju kamarku. Ketika hendak menuju kamar mandi kamarku yang berada di sebrang ruangan, aku melihat sebuah gamis putih sederhana nan elegan terletak di tengah tempat tidurku. Aku segera menghampirinya dan ternyata ada secarik kertas yang dilipat menjadi bentuk hati. Isi surat itu cukup panjang;

Janji Akan EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang