13. Herzog

91 3 1
                                    

Jika ada orang yang mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang paling beruntung di dunia ini, mungkin aku akan bilang tidak. Tidak, aku bukan perempuan yang paling beruntung di dunia ini. Tetapi, aku adalah perempuan yang harus pandai bersyukur.

Bisa saja aku mengutuk Tuhan dengan sumpah serapah. Tetapi, kebaikan yang dia berikan padaku jauh lebih baik dan lebih banyak. Seperti yang orang bilang, Tuhan bekerja dengan cara yang aneh.

Dulu ketika di panti asuhan dan ditinggalkan oleh seorang perempuan yang tidak bertanggungjawab aku diasuh oleh seorang pemilik panti yang baik dan sangat menyayangiku. Bunda. Begitu aku mengenalnya, begitupun anak panti yang lain.

Ketika anak-anak yang lain mulai memeliki keluarga adopsi, tidak ada keluarga manapun yang mau mengadopsiku karena gen keturunanku sangat tampak. Tahun kelahiranku adalah tahun yang tidak menguntungkan bagiku dan orang-orang dengan ras yang sama denganku.

Hingga usiaku 18 tahun, akhirnya aku memutuskan untuk menerima beasiswa di luar negeri. Meninggalkan Bunda yang sudah menjadi keluarga angkatku. Meninggalkan teman-teman panti dan mencoba awal yang baru, meski saat itu aku sudah membawa sebuah perasaan akan Issa. Dan perasaan itu selalu aku jaga.

Kemudian tanpa disadari, aku lulus. Aku kembali ke tanah air. Bertemu kembali dengan Issa. Dan kini, aku mengandung anaknya.

Mungkin hidupku bukanlah sebuah jalan hidup yang menyenangkan. Tetapi, lihatlah. Rencana Tuhan adalah yang terbaik. Kini aku menjadi anggota dari sebuah organisasi besar dunia yang membantu ribuan pengungsi terutama anak-anak. Aku menikah dengan seorang Dokter yang tidak hanya tampan (ya setidaknya menurutku dia tampan), tetapi dia lebih dari itu. Dia mencintaiku dan menerimaku apa adanya. Anak yatim piatu dengan latar belakang yang aku sendiri tidak ingin tahu siapa orangtua biologisku.

"Shaira, kamu melamun lagi?" panggil Issa yang membawakan cokelat panas kesukaanku.

"Hmm, aku hanya memikirkan kamu. Itu saja" kataku sambil menyisip cokelat panas yang dibawakan oleh Issa.

Aku duduk di sofa beranda, memandangi langit sore Frankfurt yang sedikit mendung. Namun, sinar matahari tetap berhasil memancarkan cahayanya dan menciptakan gradasi warna yang lucu. Seperti melihat pudding jeruk dengan fla yang berwarna kelabu.

Issa duduk disampingku, kemudian menyelimuti kami dengan selimut berwarna abu-abu kesukaanku. Hari ini memang sedikit berangin, tetapi tetap sesuai untuk berjalan-jalan atau sekedar duduk-duduk di beranda ataupun café. Beberapa orang terlihat berjalan-jalan bersama dengan pasangannya, teman, ataupun keluarganya. Namun, tidak sedikit beberapa orang terlihat berjalan sendiri dan terlihat agak terburu-buru. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang, tidak sabar untuk bertemu dengan kerluarganya yang menunggu di rumah. Terdapat orchestra jalanan yang sepertinya sedang memainkan Debussy. Entahlah, suaranya tidak terlalu terdengar dari tempat kami. Tetapi biasanya mereka memainkan Debussy di sore hari. Kau tahu Prélude à l'après-midi d'un faune atau Prelude to the Afternoon of a Faun biasanya mereka memainkan itu.

Aku bersandar padanya. Ia ikut terdiam dan mengamati keramaian di jalan Siesmayerstraβe yang mengarah ke Palmengarten dan Grüneburgpark. Seandainya aku bisa menghentikan waktu, aku tidak keberatan berada pada posisi ini selamanya. Menikmati sore hari dengan Issa dalam keheningan yang nyaman diantara kami.

"Kita diundang untuk makan malam di Stuttgart" Issa memecah keheningan.

"Siapa yang mengundang?"

"Kau tahu, keluarga ayahku" jawabnya.

"Oh, Mama ada disana?" Sudah lama juga aku tidak bertemu dengan Mama.

Issa menggeleng "Mama kan di Berlin, bukan di Stuttgart"

Janji Akan EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang