Pagi menjelang, sinar mentari mendesak masuk ke kamar Wendy, mengenai wajah damainya yang tengah terlelap. Ia terkesiap begitu melihat jam wekker olafnya, "Huaaa aku terlambatt!!" Pekiknya lantas bersiap mandi.
"Dasar manusia, selalu saja membuang-buang waktu" Cibir Chanyeol melihat Wendy yang kelabakan mencari barang-barangnya.
"Apa katamu?" Wendy yang mendengarnya segera mem-poutkan bibir mungilnya.
Oh Tuhan! Ini godaan untuk siapa saja yang melihatnya. Seandainya saja Chanyeol adalah manusia mungkin dia telah melahap bibir mungil itu sekarang. "Tidak ada, cepatlah atau kau akan terlambat pada ujianmu pagi ini" Chanyeol menatap buku tua yang sedari kemarin ia genggam.
"Aku berangkat!!" Seru Wendy seraya menaruh roti diantara bibir mungilnya.
"Hati-hati Wan" Balas eommanya, kemudian Wendy segera berlari menuju halte bus.
Chanyeol mengernyitkan dahinya, "Apa setiap manusia melakukannya?" Ia lalu menunjuk roti yang terus menggantung diantara bibir Wendy dengan dagunya.
Lantas Wendy segera memakan roti itu sebelum busnya datang, "Tidak, ini kebiasaanku ketika terlambat.." Ia telah menyelesaikannya sekarang, ".. Tapi dulu aku jarang telat kata eomma, karena aku biasa berangkat dengan kedua sahabatku, Channie dan Eunji. Sekarang keduanya telah tiada" Wendy menunduk menahan sedih. Entah sedih karena ditinggalkan sahabatnya atau karena tak dapat mengingat semuanya.
Tak lama bus pun tiba, ia segera masuk begitu juga dengan Chanyeol, tak perlu tempat duduk untuk Chanyeol, bahkan berdiri sepanjang hari pun bukan suatu masalah baginya. Ia tak kenal yang namanya lelah, tak ada dalam kamusnya.
Chanyeol melihat sekelilingnya yang dipenuhi para manusia dan beberapa malaikat disekitarnya tentu, "Hai, apa kau juga malaikat?" Tanya Chanyeol kepada pria disebelahnya.
"Tentu, namaku Baekhyun senang bertemu denganmu..." Ia seperti mengisyaratkan untuk bertanya 'siapa namamu?'
"Chanyeol"
"..Ah Chanyeol-ssi" Lanjutnya, kemudian seorang wanita berperawakan mahasiswa di depannya pun turun. Ia mengikuti wanita itu dibelakangnya.
Kening Chanyeol kembali mengerut, gadis yang menjadi target Baekhyun sepertinya sama sekali tak dapat melihatnya. Berbeda dengan Wendy. Yang bahkan seperti orang gila menurut manusia pada umumnya. Berbicara sendiri. Tepatnya berbicara pada makhluk yang berbeda dunia.
Wendy merasa bosan. Perjalanannya masih cukup lama. Sorot manik Wendy menyapu apapun disekitarnya lalu berhenti tepat di buku tua yang digenggam Chanyeol. Ia mengernyit heran, "Apa itu?"
Lantas Chanyeol mengikuti sorot manik biru gadis keturunan Kanada-Korea itu. "Eoh? Ini? Aku pun tidak tahu, hanya diperintahkan untuk membawanya kemana pun"
Sedikit benar penjelasan dari namja tinggi bersuara berat itu. Ia tak menjelaskan lebih lanjut tentang fungsinya. Tentu saja. Mana mungkin ia berkata bahwa jika buku itu bercahaya maka ia harus mencabut nyawanya.
Wendy mengangguk, namun sedikit bingung.
Bus tersebut akhirnya sampai di tempat pemberhentian Wendy menuju sekolah. Ia segera berlari agar tidak terlambat. Dia beruntung kali ini, dapat melewati gerbang sekolah satu menit sebelum bel berbunyi. Sangat beruntung bukan?
Chanyeol? dia hanya berjalan santai dibelakang Wendy yang tadi berlari kelabakan. Setidaknya ia masih dapat mengawasi gadis itu meski tak terlalu dekat. Tak masalah bagi Chanyeol jika gerbang ditutup. Toh ia dapat menembusnya begitu saja, atau mungkin terbang melompatinya. Apapun dapat dilakukannya.
Selama pelajaran berlangsung, Chanyeol memperhatikan Wendy dari sudut kelasnya. Untuk apa berada terlalu dekat dengan gadis itu? Malah dapat mengganggu konsentrasi belajarnya.
Menurut Chanyeol pelajaran Wendy sangatlah mudah. Benar saja, dulu saat ia masih hidup sebagai manusia. Ia selalu mendapat ranking satu paralel. Berbeda dengan Wendy yang tergolong tak begitu menonjol dalam pelajaran eksak.
Chanyeol POV
Aku berdiri disudut ruang kelas Wendy. Gadis itu? Ia sangat malas, ia memang sedang memperhatikan, mata birunya menerawang lurus ke papan tulis. Namun siapa tahu bahwa kini ia sedang berpikir yang lain-lain.
Kriiinnngg
Suara apalagi itu? Sangat mengganggu ketenangan saja. Ku lihat seluruh siswa berhamburan keluar kelas. Apa pelajaran telah berakhir? Secepat itu?
"Psycho! Sini kau dasar pembunuh!" Sesosok gadis bersama ketiga temannya berhasil mendapatkan perhatianku. Ia berjalan kearah Wendy yang kini sedang merapihkan mejanya dari buku-buku tebal.
Lantas ia menoleh mendapati empat orang gadis yang kelihatannya sedang naik darah itu. Wendy mengernyit bingung sekaligus takut.
Sungguh. Dari raut wajahnya pun ia terlihat sangat polos. Layaknya orang yang tak mengerti apapun. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Gadis itu menyeret Wendy ke rooftop yang berada di lantai enam gedung sekolah. Di tangga menuju rooftop beberapa orang melemparinya dengan telur, tepung, dan tomat. Gadis yang menyeretnya pun menarik rambutnya cukup keras. Sungguh tidak manusiawi.
Aku? Aku tak dapat berbuat apa-apa. Karena apapun yang ku lakukan hasilnya nihil. Bahkan menggapai tangan mereka pun aku tak bisa. Ini sudah keterlaluan ku pikir. Seandainya saja aku dapat menjadi manusia mungkin gadis malang seperti Wendy akan selalu ku lindungi. Tidak dia tidak lemah. Buktinya saja dia masih dapat tersenyum dan tertawa walau sebenarnya ia rapuh.
"Psycho sepertimu tidak layak menginjakan kaki disini.." Gadis itu tersenyum sinis menatap Wendy yang kini menggigil ketakutan setelah ia menghempaskan Wendy ke ujung bangunan. ".. Pergilah bersama teman-temanmu yang kau bunuh itu" Lanjutnya sembari mendorong Wendy hingga terhempas jatuh ketika pijakannya tak lagi berpihak padanya. Mereka sungguh kejam.
Aku menatap buku tuaku, ku pikir inilah saatnya buku ini bercahaya, namun ternyata perkiraanku salah. Buku itu tak kunjung menyala. Aku sungguh panik. Berarti ini belum saatnya untuk Wendy mati. Ku jentikan jariku. Aku memang tak tahu hal apapun tentang ini, bisa dibilang ini refleks. Waktu pun berhenti. Beberapa meter lagi sebelum gadis itu menyentuh tanah.
Ku arahkan matras di dekatnya untuk berada tepat dibawahnya. Lalu ku jentikkan jariku kembali, waktu kembali berputar. Ia hanya pingsan. Dan sedikit memar karena lemparan telur dan tomat tadi. Nyawanya tentu selamat. Aneh, sewajarnya jika ia jatuh dari lantai enam harusnya ia telah meregang nyawa sekarang. Namun buku itu belum juga bereaksi. Apa buku ini rusak?
Hai hai, kepikiran buat update sedikit nih wkwk xD happy reading, comment aja kalau misalnya kalian bacanya pusing atau ada yang aneh mungkin biar aku perbaikin buat update selanjutnya. Masukan kalian berharga loh hehe.. Tenang aja aku nggak gigit kok(?) *lohh
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Fanfiction"Apa aku terlalu bodoh untuk mempercayaimu sebagai malaikat?"