Chapter 11

324 38 2
                                    

Helcaraxe. Negeri Utara dengan dingin menggigilkan tulang. Medan yang kejam dan mengerikan. Selalu dilanda badai, dengan angin yang kencang mengiris. Tiada tempat berteduh dan berlindung. Tanahnya diselimuti salju dan bebatuan beku. Gunung-gunung dan perbukitannya ialah es yang mengkristal. Meski demikian, Glorfindel tetap bergerak maju, bersama kaum Noldor-Fingolfin dalam kali pertama penjejakan kaki ke Arda. Menyeberangi padang es sembari menahan getirnya pengkhianatan.

Perjalanan itu bak neraka. Pedih dan sengsara. Tak terhitung seberapa banyak Elf yang gugur; kembali begitu cepat ke Valinor, tetapi bukan menuju istana ataupun kastil-kastilnya yang indah, melainkan Balairung Mandos. Ironis... menyakitkan, Glorfindel senantiasa ingat. Asa kian terkikis. Sejauh mata memandang hanya ada kebekuan.

Selarik cahaya jatuh dari langit, dan begitu menyentuh bumi, Helcaraxe seketika membara dalam kobaran api putih. Rasa dingin yang menggelayuti sekujur tubuh Glorfindel tersapu, menguap habis hingga Sang Ellon lupa betapa menderitanya ia oleh kedinginan selama ini.

'Apa ini...! Tak pernah ada kejadian semacam ini sebelumnya!' Glorfindel tercekat.

Di dalam sinar terang, di balik lidah api yang berpusar liar, tampillah sesosok wanita. Tubuhnya berpijar, matanya laksana mentari. Glorfindel menatapnya dengan napas terhela gemetar. Bagaimana bisa sesuatu terlihat begitu indah sekaligus menakutkan di saat yang sama?

"Siapa kau?" Lord Klan Bunga Emas itu bertanya.

Wanita itu tidak menjawab, akan tetapi sebuah nada panjang yang keras menembus pendengaran Glorfindel. Bergaung di relung-relung sanubarinya. Panas... membakar.

'Vasariel.'

Dengan satu tarikan napas tajam Glorfindel terjaga.

Cahaya sore mengintip redup dari sekat-sekat jendela dapur. Udara lembab Greenwood, sejuk dan melankolis, datang dengan ragu-ragu lewat celah-celah pondok, namun tercerai-berai diusir uap panas beraroma jamur rebus.

Vasariel; Putri Jantung Api. Dada Glorfindel masih berdebar mengingatnya. 'Siapakah gerangan...'

"...masukkan lada, lalu potongan daging kering! Nah, jadi sop!" celotehan Ron mengalihkan perhatiannya.

Terhanyut oleh pemikirannya membuat Glorfindel baru menyadari kesibukan di dapur Si Tua Radagast. Mithrandir telah menanggalkan topi lancip berikut jubahnya, dan sibuk membuat teh, ditemani seekor landak kecil yang mengamat-amati Si Pengelana Kelabu dengan asyik. Radagast tampak amat gembira. Ia berseloroh, tertawa-tawa bersama Ron, seraya memanggang adonan tepung di atas lempengan besi panas, semacam kue dadar yang polos dan tipis. Ron mengambang di udara tak jauh darinya, mengaduk-aduk seperiuk sop yang dijerang di perapian.

Lada dan daging membuat sop itu wangi sekali. Glorfindel tidak lapar, tapi ia bersedia mencicipi barang sedikit. Tertarik, ia pun beranjak dari jendela ke meja dapur.

Begitu duduk di bangku, cangkir tanah liat berisi teh disodorkan padanya. "Terima kasih," Glorfindel berkata.

Mithrandir hanya tersenyum.

Ron mengambil sendok kayu, lalu mencicipi kuah sopnya. "Hm... kurang asin. Pak Tua, bagi garamnya sedikit!"

"Masukkan ini." Radagast memberinya beberapa helai daun bulat berwarna hijau terang dengan tepian bergerigi putih. Ron melongo.

"Garam, 'Kek, bukan daun!"

"Ini rasanya juga asin!" kata Radagast. Glorfindel tertawa geli melihat ekspresi tak percaya Ron.

"Apa iya..." Ragu-ragu, Ron mengemut sehelai daun, dan mencecap-cecapkan paruhnya, keasinan.

Radagast terkekeh. "Rasa asin tidak hanya dari garam laut, 'Nak!" ucapnya, sembari menjatuhkan tiga helai daun ke dalam rebusan sop. "Cuma Manusia yang membumbui masakan mereka dengan garam hasil endapan air laut. Para Dwarrows lebih suka menggunakan Batu-Batu Payau yang mereka temukan di semenanjung. Sedangkan Elf lebih menyenangi rasa asin Daun Taram ini."

The Grey MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang