Chapter 18

407 40 18
                                    

"Ini kejutan!"

Bard tengah menurunkan muatan kapal ketika pelanggannya Sir Dastan, pedagang ternama dari Rohan, berseru dari dermaga kota Andor, di tepian Sungai Besar Anduin.

"Dan sebuah kejutan yang menyenangkan, dapat berjumpa Anda, Sir Dastan!" Bard menyahut ramah, mengira dirinya disapa.

"Bukan kau!" tukas si pedagang, membuat Bard melongo. "Kau sih, pemandangan biasa! Yang kumaksud itu, yang itu! Lihat!"

Sembari merangkul pundak Bard, Sir Dastan mengarahkan pandangannya ke langit malam. "Lihat! Wilwarin mulai membentangkan sayapnya! Ini kabar bagus, Tuan Pelaut!"

Bard tercenung kala menengadah. Rasi bintang yang lama tak terlihat, Wilwarin si Kupu-Kupu, mengerlip kepadanya.

"Tentu saja! Bintang terlihat, berarti langit cerah dan cuacanya bagus. Nelayan jadi  bisa melaut!" jawab Bard.

Sir Dastan mendecakkan lidah. "Kupu-Kupu adalah perlambang perubahan! Makanya kubilang ini kabar bagus. Setiap kali Wilwarin tampak di langit, sesuatu yang besar terjadi di Arda! Hidup kita akan berubah, kawan, kau dengar? Hidupmu akan berubah!" sambil bersenandung senang Sir Dastan menepuk-nepuk bahu Bard, sebelum mengangkut barel-barel ikan bersama anak buahnya.

Bard cuma mendengus geli. Ia tak pernah percaya pada takhayul.

Penampilannya boleh lusuh dan kasar, namun kepiawaian Bard dalam merundingkan perniagaan seelegan bangsawan dari Kota Raja. Harga yang ia dapatkan tak pernah membuat kening pelanggannya berkerut ataupun membuatnya bersusah hati. Malah ia mendapat bonus kali itu; kamus lengkap tanaman obat dan stok herbal kering yang ia tebus dengan harga yang sangat rendah dari Sir Dastan. Bard berencana memberikan buku itu pada Sigrid, sementara herbal kering bisa ia manfaatkan untuk warga kotanya di Esgaroth.

Perasaan ringan, Bard pun berlayar pulang.

Cuaca yang bagus awalnya menggoda Bard untuk pergi lebih jauh ke Gondor, mencari peluang, tapi ia sudah tujuh hari tak pulang. Bard percaya warga kota akan selalu mengawasi anak-anaknya, tapi ia juga tahu segala sesuatu memiliki batasan. Terlebih lagi kota itu berada dalam cengkeraman penguasa, yang tak cuma tamak namun juga memusuhi Bard sekeluarga.

Wilwarin menyala terang ketika Bard sampai di Esgaroth. Sayap-sayapnya terbentang penuh. Bard teringat pada takhayul yang diutarakan Sir Dastan. Ia menyeringai. Senyumnya berubah jadi tawa saat tampak olehnya Pangeran Legolas dan rombongan Mirkwood di pelabuhan Kota Danau.

"Bard, the Bowman!" Legolas menyambutnya di dermaga.

"Pangeran Legolas!" Bard menjabat uluran tangan sang Pangeran Elf. "Angin apa yang membawamu bertandang?"

Legolas tersenyum lebar. Bard mengedarkan pandangan. Sebagian dari pengiring sang Pangeran ia kenal baik, sementara sisanya tak begitu, meski demikian ia menyapa semuanya.

"Bagaimana dengan Gondor?" tanya Legolas, alih-alih menjawab pertanyaan Bard.

"Aku tidak berlayar sejauh itu. Hanya sampai Andor. Itupun tak lama." Bard memanggul tas kulitnya di sebelah bahu, kamus tanaman obat ia tenteng di lain tangan.

"Kau cemas memikirkan anak-anakmu," tebak Legolas.

"Yah, namanya juga orangtua!" Bard berseloroh. Mereka lantas membicarakan hal-hal biasa seperti cuaca saat pelayaran, kenaikan harga ikan jenis tertentu di negara lain, atau kapan Bard berencana berangkat lagi. Sepanjang percakapan, Bard menyadari Legolas enggan menyuarakan maksud kedatangannya.

Ia kemudian mengundang sang Pangeran beserta rombongan ke rumahnya. Di tengah jalan, seorang Ellon berambut emas, berperawakan gagah dan lebih tinggi dari Peri-Peri lain memberhentikan mereka. Seekor burung hantu yang aneh dan juga amat bulat terbang menghinggap di bahunya. Glorfindel, begitulah sang Ellon memperkenalkan diri, juga Istar Ron. Bard hampir terlompat sewaktu si burung hantu menyapanya, beberapa lama terbelalak selagi Legolas dan Glorfindel menertawainya sementara Ron mendengus-dengus tak terkesan.

The Grey MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang