Chapter 13

356 38 4
                                    

Seperti cadas dalam gua-gua tambangnya, api yang membakar tungku bengkel-bengkel pandai besinya, begitulah Dwarf yang terkenal teguh dan panas hati. Mereka tak mudah percaya, namun sekali setia maka itu untuk selamanya. Dalam berteman, apalagi keluarga, solidaritas bangsa Dwarf sungguh tiada banding. Andai tak sepaham pun Dwarrow tetap akan membela sesamanya ketimbang ras lain. Mereka senang bersama-sama, selalu berusaha untuk bersama-sama. Setiap kelahiran akan dirayakan bak hari besar. Setiap kematian akan disesali dan ditangisi bahkan oleh mereka yang tak punya pertalian darah. Tidak ada Dwarf yang bersendirian. Yang kecil dikelilingi keluarga, yang dewasa disertai kerabatnya, hingga yang berpulang dikebumikan bersama leluhur pendahulunya.

Namun Raja Thrain dari Pegunungan Sunyi dimakamkan di bawah sebatang pohon oak, jauh dari tanah kelahirannya, seorang diri, tanpa seorang kerabat pun yang melayatnya. Ironis, justru para Elf-lah yang mengurus penguburannya. Elf dari Greenwood, yang selama beberapa dekade ini menjadi ras yang paling dibenci oleh bangsa Dwarf, terutama Dwarrows dari Erebor.

Harry memandangi pusara batu Sang Raja Kurcaci, merasa tua, letih dan gagal. "Aku lelah," ia berkata.

Glorfindel dan Radagast mengawasinya, namun tanpa peduli, Harry berbalik ke dalam pondok.

Ron masih membeku dalam wujud patung burung hantu berlian. Harry meraih dan memangku sang sahabat, perasaannya bergejolak tak terkendali. Ia sedih, marah, dan ingin menghilang. Pikirannya kacau, ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan setelah kejadian kali ini.

Sang Penyihir memejamkan mata. Belas kasih datang padanya, karena di alam mimpi; Taman Lorien Valinor, keluarga dan sahabatnya menyambutnya dengan sukacita.

Ia menemukan Ron tengah terlelap di pangkuan Hermione pada tepian telaga yang dipenuhi teratai emas, ketika Ayah dan Ibunya menghampiri lalu memeluknya.

"Tak apa, 'Nak," James berkata, sementara Lily membelai rambutnya. "Semua akan baik-baik saja..."

Harry menerima janji itu, dan saat Ginny menyongsong dan mendekapnya erat, ia biarkan dirinya larut dalam kedamaian sesaat.

***

Di luar pondok, Radagast dan para Peri Greenwood masih berkumpul mengelilingi pusara Raja Thrain. Pagi telah datang, tapi gelap seolah tetap menggelayut di atmosfer.

Radagast menyeka matanya, melihat ke arah pondok, memikirkan Gandalf. Namun ia tak berniat menyusul. Gandalf dekat dengan semua ras di Dunia Tengah, tentunya ia merasa terpukul akan mangkatnya Thrain yang malang. Dan siapa yang tidak. Kekejian yang menimpa Putra Durin itu mengguncang perasaan semua orang.

Berpikir tentang Gandalf membuat beberapa hal membingungkan muncul di benaknya, tetapi Radagast menyisihkannya demi melihat wajah murung para Elf. "Ah, lihatlah!" ia mencoba mencairkan bekunya kesunyian. "Sudah pagi. Sarapan, minum teh! Ayo, Glorfindel! Peri-Peri yang baik! Dan mari kita lihat bagaimana keadaan tiga pasien kita!"

Satu per satu para Elf beranjak mengikuti Radagast, melupakan kepiluan dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan. Ada yang membelah kayu dan menyiapkan perapian, ada yang mengambil dan menjerang air, ada pula yang memetik sayur-mayur dan buah-buahan. Selagi Radagast sibuk membuat adonan roti di dapur, Glorfindel menyempatkan diri menjenguk Rumil, Faelwen, dan Adanion. Tiga Elf itu masih pulas memulihkan diri; Haldir berada tak jauh, juga lelap dalam penat.

Di teras pondok, Thranduil duduk ditemani putranya Legolas. Galion dengan setia berdiri di sisinya. Menghadap Sang Raja, Tauriel dan Edenost bergantian melaporkan kronologi peristiwa kemarin malam.

Tak habis rasa gamang sewaktu menemukan akhir riwayat Raja Thrain, warta mengenai situasi Dol Guldur kembali membuat Thranduil terhenyak.

"Apa?" ia bertanya, wajahnya membeku selagi tatapannya terpaut pada Tauriel. "Dol Guldur jadi markas Orc?"

The Grey MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang