Chapter. 7

520 60 10
                                    

Di Valinor, Mandos membawa Harry ke sebuah tempat yang begitu mirip dengan Inggris, tetapi lebih hijau, dengan cuaca cerah di musim semi. Menatap tempat itu, Harry merasa Inggris yang lama seolah cuma negeri di dalam mimpi, karena Inggris yang ini terasa lebih riil... seakan-akan inilah Inggris yang sesungguhnya.

Harry tak sadar kalau Mandos diam-diam meninggalkannya, karena mendadak serombongan orang menyerbunya. Tapi ini bukanlah kejutan yang tak menyenangkan, malah sebaliknya, entah sudah berapa lama Harry menanti-nantikan pertemuan ini. Ia menangis dan tertawa sewaktu melihat Ron lagi. Fred yang tetap sejahil dulu. Ginny manis yang selalu ia rindukan. Rasa haru membuncah di dadanya ketika ia menjumpai Sirius, Remus, dan kedua orangtuanya; James dan Lily Potter. Selama ini Harry selalu bertanya-tanya seperti apa rasanya berada dalam pelukan seorang Ayah dan Ibu, dan sekarang ia tahu jawabnya. Bukan seperti ilusi yang dipantulkan Cermin Tarsah, ataupun perjumpaan di dalam mimpi, tangan-tangan yang memeluknya sungguh-sungguh nyata.

Layaknya hujan sehari yang memupus kemarau setahun, kesepian dan luka terpendam Harry selama ini lenyap tak berbekas.

***

Waktu berjalan dengan aneh di Valinor, atau begitulah yang dirasakan Harry.

Seperti suatu ketika, saat ia berbaring bersama Ginny di hamparan padang bunga daisy seraya mengagumi bintang, waktu seakan-akan terhenti. Jam berdetik dengan lambat sewaktu ia bercengkerama bersama kedua orangtuanya, namun berlalu cepat tanpa terasa ketika Mandos mengajarinya Magis dan bahasa Valinor, Quenya. Lalu ada pula masa-masa di mana Harry merasa bagai telah puluhan tahun berlalu sejak ia menginjakkan kaki ke tanah ini untuk pertama kalinya, dan sekarang... melihat Hermione berdiri di teras The Burrow Valinor -dengan airmata jatuh menetes-netes, rambut keriting lebat mengembang, dan Magical Globe di pelukan- rasanya seakan baru kemarin Harry pergi meninggalkan London.

"Hermione!" pekik Ron gembira sembari mengembangkan tangan dengan antusias. Namun alih-alih mendekapnya, Hermione malah mengoper Magical Globe ke tangan sang suami sebelum menghambur dan memeluk Harry.

"Oh, Harry!" isak Hermione. "Aku rindu sekali padamu!"

"Aku pun merindukanmu, 'Mione!" sahut Harry penuh haru.

"Bagaimana denganku? Sudah puluhan tahun aku menunggu-nunggu, dan saat aku bisa melihat istriku lagi, ia malah memeluk laki-laki lain!" protes Ron. Ia melotot jengkel pada Fred dan Ginny yang cekikikan menertawainya.

Sembari menempelkan dahinya ke dahi Hermione, Harry ikut tertawa. Aroma mawar dan buku baru menggelitik penciumannya. Waktu kembali bermain-main; perjumpaan sesaat terasa bagai selamanya. Tetapi Harry tak mengeluh. Ia tahu keberuntungannya, dan mensyukuri setiap berkah yang diberikan padanya.

***

Setelah pesta reuni gila-gilaan seharian, Harry memutuskan mundur dari keramaian untuk menjernihkan pikiran.

Jam saku hadiah dari Sirius menunjukkan bahwa malam sudah bergeser sepertiganya. Harry melangkah ke halaman The Burrow, menghirup dalam-dalam udara sejuk seraya menikmati pemandangan. Malam tetap temaram namun tidak gelap; Harry dapat melihat bentuk setiap bebatuan juga warna-warni bunga, hijaunya rumput dan pepohonan dengan jelas. Tak ada lampu-lampu di Valinor, cahaya matahari dan bulan sudah cukup sebagai penerangan. Secara logika, matahari dan bulan Valinor seharusnya ribuan kali lebih menyilaukan ketimbang dengan yang menyinari bumi, tetapi Harry bisa melihatnya langsung tanpa sampai menyakiti mata.

Bintang-bintang membanjiri horizon, dan Harry sejenak berhenti untuk mengagumi langit. Di London, Harry hanya melihat hal seperti ini di foto-foto pemandangan yang diunggah fotografer di internet.

Suasana begitu sunyi, namun bukan kesunyian yang menimbulkan rasa sepi, melainkan kedamaian. Harry sempat berpikir untuk menghabiskan sisa malam dengan memandang bintang ketika mendadak ia mendengar tangis lirih dari seberang sungai yang melintas di halaman The Burrow.

The Grey MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang