Part 5.

2.1K 122 3
                                    

Udah seminggu ini gue berangkat pagi ke sekolah. Seminggu juga gue ngelewatin pagi tanpa sarapan. Mager sekitar 15 menit di parkiran hanya untuk ketemu cewek yang naik motor pake celana jeans. Keren gak gue? Enggak. Karena cuma ketemu aja. Kadang Lala turun dari sepeda motor dan ngeliat gue sambil tersenyum. Tapi, kebanyakan gue ngeliat Lala tapi Lala gak ngeliat gue. Kasian gue. Gue gak bisa memulai percakapan ataupun sekedar membalas senyumannya. Entahlah. Gue juga gak tau kenapa.

Udah seminggu juga Keyla selalu nyamperin gue di parkiran. Curhat segala macem. Smsin, mention sampe nelpon gue. Gue mulai berpikir kalo Keyla tulus deketin gue. Yah, mungkin Keyla beda.

Gue lolos seleksi masuk tim utama atau tim senior. Gue kepilih jadi striker. Satu tim sama Rian. Gue gak pernah lupa kalo gue harus ngasih pelajaran sama Rian karena nyakitin Alexa. Tapi, bukan sekarang waktunya.

"Gak ke kelas? Bentar lagi bel loh," ujar seorang cewek dari samping gue. Oh, mungkin si Keyla.

Gue menoleh.

"Eng..Enggak," gue gelagapan. Dia bukan Keyla. She is Lala. Oke, gue mulai grogi. Gue gak bisa kontrol diri gue.

"Hai, Lex..!" sapa seorang cewek. Cewek yang gak gue harapin kehadirannya. Duh, Keyla.

Gue gak menjawab sapaan Keyla. Gue menatap Lala. Tapi, Lala malah menatap Keyla dan Keyla membalas tatapannya. Gue bisa merasakan ada sinyal negatif di antara mereka. Tapi, gue gak tau apa.

"Gue duluan ya, Lex.." pamit Lala sambil tersenyum. Manis banget. Gue meneguk ludah.

Lala berlalu. Gue menatap punggung itu lekat-lekat. Hanya dengan menatapnya aja dia udah bisa bikin gue grogi setengah mati. Oke, lupain dulu soal Lala. Gue harus bertahan sampe ke kelas gue yang lumayan jauh dari parkiran ini bersama nenek lampir di sebelah gue. Duh, Keyla. Apa dia gak sadar kalo gue sama sekali gak tertarik sama dia?

--------------------------------

"Alexis..!" 

Suara toa di sebelah gue membangunkan gue. Oh. Gue langsung berdiri dan berjalan keluar kelas.

"Mau kemana kamu?" tanyanya saat gue baru sampe di pintu.

"Ke ruang BK kan, pak?" tanya gue balik.

Gue tertidur lagi di kelas. Seperti biasa, kalo udah ketauan, gue pasti di suruh ke ruang Bimbingan Konseling. Dapet catatan poin pelanggaran dan di ceramahin panjang-panjang sama pak Kholis. Sudah biasa.

"Kembali! Saya akan kasih hukuman lain buat kamu," ujar pak Galih.

Gue membelalakkan mata. Gue menangkap sinyal negatif dari seringaian pak Galih, guru kimia. Memang, gue sering tertidur di jam pelajaran kimia. Selain gue gak ngerti apa yang di bahas, jam pelajaran kimia itu selalu di akhir. Pas jam siang. Pas lagi ngantuk-ngantuknya mata.

Dan disinilah gue sekarang. Di Aula. Gue di hukum untuk mengepel aula. Sendirian. Bunda... Tolong anakmu yang ganteng ini bunda...

Pelan tapi pasti, gue mengepel aula. Belum sampe setengah luas lantainya aja seragam gue udah basah kena keringat. Kalo gak karena ancaman pak Galih yang bakal manggil bunda ke sekolah, ogah dah gue ngerjain ini.

"Perlu bantuan?" tanya seseorang dari belakang.

Lala. Dia memakai celana jeansnya. Bel pulang memang udah berbunyi 10 menit lalu. Mungkin Lala juga udah mau pulang. Tapi kenapa dia kesini? Mungkin kebetulan. Atau kita memang di takdirkan bertemu karena kita jodoh yang sedang berusaha di dekatkan oleh Tuhan. Maap maap. Gue dapet warisan kebiasaan mengkhayal dari bunda kayanya nih.

"Eh.. Eng.. Ha? Oh, enggak enggak," sahut gue gak karuan.

"Gak papa kok. Bentar," kata Lala. Dia mengambil alat pel yang ada di pojokan aula lalu kembali menghampiri gue. Lala memasukkan alat pel ke ember yang berisi air lalu mulai mengepel.

Gue bengong.

"Lo gak mau kesambet setan siang-siang kan, Lex?" tanya Lala.

Gue ketauan bengong. Gue menunduk dan mulai mengepel lagi. Gue pengen, pengen banget ngobrol banyak sama Lala. Ini saatnya. Tapi, kenapa tenggorokan gue rasanya kering? Mulut gue kaku mau ngeluarin suara. Sehebat inikah pesona Lala? Gue harus berusaha.

"Em.. E.. Lo gak.. gak.. pulang?" tanya gue. Gue benci mendengar suara gue sendiri. Gue masih mengatur nafas dan mengontrol diri.

"Enggak," jawab Lala singkat.

Gue sadar itu tadi pertanyaan bodoh. Kalo Lala pulang, ngapain dia disini coba? Astaga. Otak gue mana otak gue..

Hening.

Gue mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Em.. La.."

Lala menoleh, "Ya?"

Wajah Lala keringetan. Gue jadi merasa gak enak hati, "Lo berenti aja ya. Biar gue yang ngerjain, kan gue yang di hukum," kata gue lancar. Alhamdulillah..

Lala tersenyum, "Gak papa kok,"

Senyuman Lala membuat gue membeku sebentar.

"Udah, La.. Udah hampir selesai nih. Lo istirahat deh," kata gue.

Gue mengambil minuman pocari di tas gue dan memberikannya ke Lala, "Nih!"

"Thanks yah," sahut Lala.

Lala mendongak dan meminum pocari. Ada keringat yang mengalir di lehernya. Gue meneguk ludah. Pikiran gue mulai gak karuan.

"Nih, lo minum juga." kata Lala sambil memberi pocari yang udah tinggal separuh ke gue.

Gue mengambilnya, tapi gak gue minum. Mau gue simpen.

"Lex," panggil Lala yang udah duduk di pinggir panggung aula dengan kaki menggantung.

"Ya?" sahut gue yang masih menyelesaikan sisa lantai yang belum di pel.

"Lo sama Keyla.. Em.." Lala keliatan kalo lagi mikir. Gue langsung bisa mengerti apa yang akan dia katakan.

"Enggak. Kita gak ada apa-apa," potong gue.

Lala tersenyum. Manis. Lagi-lagi gue membeku.

"Selesai.." kata gue.

"Yeay..! Yuk pulang," ajak Lala.

"Gerimis, La." kata gue saat gue dan Lala udah berada di luar aula.

"Iya nih. Mana gue lupa gak bawa jas ujan," sahut Lala.

Gue menghela nafas panjang, "Gue juga lupa,"

"Yaudah duduk sini, La. Tambah deras nih," kata gue menepuk kursi di sebelah gue.

Lala mengangguk.

Hujan makin deras dan ini udah sore. Mana cacing di perut gue udah mulai nyanyi dari tadi minta di kasih makan. Gue menoleh ke arah Lala. Lala menoleh juga ke arah gue dan tersenyum. Ragu-ragu, gue membalas senyuman Lala.

"Lo dingin?" tanya gue ketika melihat Lala menyilangkan tangannya.

Gue mengambil jaket baseball gue di tas. Gue cium sebentar, masih wangi, lalu gue memberikannya ke Lala, "Nih, La. Pake,"

"Gue gak papa kok," sahut Lala.

Tanpa nunggu lagi, gue langsung memakaikan jaket gue ke punggungnya, "Pake aja,"

Lala mengangguk dan memakainya.

"Gue suka ujan, Lex," kata Lala sambil merapikan rambutnya kebelakang telinga sehingga terlihat semua bentuk wajahnya. Pipinya cubby.

"Gue juga," sahut gue.

Lala terlihat bersemangat, "Oya? Gue suka hujan karena hujan selalu bisa bikin gue menjadi mellow. Dalam keadaan marah atau seneng, kalo udah ujan gue pasti langsung tenang. Gak tau kenapa. Kalo lo?"

"Gue.. Gue suka aja. Teduh aja perasaan gue kalo lagi ujan," sahut gue sambil tersenyum.

Lala diem. Gue menoleh ke Lala. Lala malah menghindari tatapan gue. Lho, kok muka Lala jadi merah?

--------------------------------

Masih stuck! 

Please comment guys :'(

Terima kasih udah baca yaaa. Vote dan commentnya di tunggu...

RAIN and YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang