14

17.1K 711 9
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun belum ada tanda-tanda bahwa Aris akan sadar. Dia tidak koma, kata dokter. Namun entah mengapa Aris belum sadarkan diri sedari tadi. Alicia menatap dengan tatapan kosong ke wajah Aris. Bary pulang ke apartemennya bersama Renna mengambil beberapa pakaian Aris. Mereka sengaja meninggalkan Alicia bersama Aris. Karena Bary melihat tatapan mata Alicia kosong sesaat di luar ruangan dan itu pun masih terjadi hingga saat ini. Saat menatap wajah Aris.

Alicia mengusap pipi Aris pelan. Lalu kembali menggenggam tangan Aris yang dingin. "Just like that year, isn't it? Our first meet." Alicia tersenyum masam. Wajahnya sudah lelah, namun bertentangan dengan pikirannya. Alicia mengembuskan nafasnya pelan. "But, it different. I have no feel to you that time, that day. Not now. I have something to you. I have a strong feeling. But, i can't say it. This is wrong. We are just friend. No, like a family, isn't it?"

Alicia termenung. Rasanya sia-sia, pikirnya. Tiba-tiba ada seseorang datang. Seorang dokter. Dia memeriksa Aris tanpa menyuruh Alicia untuk menjauh.

"Bagaimana, Dok?"

Dokter menyelesaikan pemeriksaannya kepada Aris. Ia menatap Alicia sedikit iba. Wajahnya lelah dan lesu. Namun sebenernya bertentangan dengan pikirannya. Pikirannya masih kuat, jernih. Kemudian dokter berkata, "Keadannya membaik. Mungkin sebentar lagi sadar." Dokter memberhentikan kalimatnya dan melanjutkan, "Semoga keadaannya semakin menbaik esok, agar tidak memerlukan operasi." Dokter berjalan ke pintu, "Kalau begitu, saya permisi dulu. Kalau ada perlu apa-apa, tekan tombol merah itu saja. Perawat akan datang. Permisi." Kemudian dokter itu berlalu.

Keadaan Alicia sedikit membaik mendengar kata dokter walau masih ada sedikit ketakutan akan dioperasinya Aris. Lalu seseorang masuk kembali. Renna dan Bary.

"Lis, istirahat dulu. Lo belum makan, 'kan? Sana, makan sama Renna dulu. Gue yang jaga Aris."

Renna memegang tangan Alicia, mengajaknya untuk keluar. Alicia menatap Aris sekali lagi, lalu melepaskannya.

*

"Udah bilang, Lis?" Suara Renna memecahkan kesunyian di antara mereka di dalam kantin rumah sakit.

Alis Alicia bertautan. "Bilang apa?" Ekspresinya menandakan bahwa ia benar-benar bingung. Renna menatapnya dengan tatapan heran. Ia memijit pelipisnya pelan.

"Bilang ke Aris." Renna mengatur nafasnya, lalu melanjutkan, "Suka. Bukan. Cinta. Lo cinta sama Aris, 'kan?"

Alicia tersedak oleh air yang ia minum. Renna berdiri dan mengusap punggungnya. "Makasih, Ren." Renna kembali duduk di kursinya, Alicia mulai mengatut nafas.

"Nggak mungkin. Nggak bisa."

Renna menatap Alicia lekat-lekat. Matanya sedikit menyipit. "Apa nya? Nggak mungkin? Nggak bisa? Astaga! Maksud lo, orangtua lo? Mereka ngelarang lo? Emang kenapa? Perasaan nggak ada yang bisa ngatur, sekalipun itu orangtua lo. Semuanya dari Tuhan. Salah atau nggak nya belakangan. Yang penting lo ungkapin dulu." Renna memejamkan matanya, mengembuskan nafas. "Parah, gue khotbah." Renna menopang dagunya dengan tangannya di atas meja.

"Lo tau, lo itu cewek paling beruntung yang pernah temuin. Aris pernah cerita ke gue tentang lo, kalau lo cinta pertamanya." Renna mengangkat bahunya, "Padahal gue nggak nanyain. Dia cerita tiba-tiba."

Renna menatap Alicia sambil menunjuknya, "Aris pernah bilang, 'Alicia is a perfect girl i ever meet.' Oh ayolah muka lo jangan gitu, i tell you the truth, dear."

*

Bary menatap Aris dengan tatapan hampa. Wajahnya benar-bemar lelah, badannya sudah mencapai batas lelahnya. Ia duduk di samping ranjang Aris, memegang tangannya yang dingin dengan erat. "Cuy, lo nggak mau bangun? Tiga orang yang sayang sama lo udah nungguin nih. Ck, parah lo." Senyum masam tersungging di wajah Bary. "Gue udah bilang suka sama lo. Renna juga udah, malah udah jadian sama lo. Oh gue tau, pasti gara-gara Alicia belum bilang ya?" Bary menggeleng pelan, ia mengusap pipi Aris. Dingin.

"Gue masih disini kok, bakalan tetep nungguin lo." Bary mengecup kening Aris, lalu meninggalkan ruangan Aris. Bary mengatur nafasnya, menahan tangis. Ia mengeluarkan teleponnya.

"Pa, ini Bary. Kalau denger pesan Bary, bales. Bary mau minta tolong. Emang sih, Bary nggak megang omongan sendiri. Tapi Bary butuh dana, buat temen Bary. Keadaannya kepepet. Bukan temen, lebih tepatnya orang yang Bary sayang. Dia gegar otak, kata dokter kalau keadaannya makin baik, nggak perlu operasi. Semoga aja sih nggak." Bary meghela nafas, memejamkan matanya lalu melanjutkan, "Makasih, Pa. Maafin Bary."

***

Astaga, gue mau nangis. Ini udah gue edit dua kali —lebih tepatnya ke hapus, udah ke hapus dua kali. Dan ini hasil yang paling parah. Makin pendek, persethan. Ah gedek gue, ngetik di dua alam, ponsel dan pc.

Anyway, kemungkinan gue mau menyudahi ini di part 15 atau 16. Kenapa? Gue udah capek, mau semedi wgwgwg.

Vomment cuy~ :>

My Charming GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang