15. Last

23.7K 751 71
                                    

Keadaan Aris semakin memburuk. Dokter dan perawat segera membawa Aris ke dalam ruang operasi. Alicia dan Renna sudah berderai air mata. Sedangkan Bary menahan tangisnya. Ternyata ada luka yang cukup dalam di otak Aris yang membuat Aris cukup lama untuk sadarkan diri.

Entah berita dari mana, kedua orangtua Alicia datang. Mereka menghampiri Alicia yang sedari tadi menangis paling kencang dan seseguka  melihat Aris di bawa ke ruang operasi.

"Tenang, Dek. Aristia pasti kuat, kok. Kamu harus percaya ya sama Mama, sama Aristia juga. Udah, Dek, jangan nangis." Alicia di dekap oleh Mama nya hingga membuat Mama nya ikut menangis. Bary menenangkan Renna yang sedari tadi memeluk lengan Bary dengan kuat.

Bary menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menutupi rasa sakitnya yang seakan pecah dan tidak terbendung. Bunyi suara telepon Bary. Bary mengeceknya, ayah nya sudah mentransfer uangnya dengan nominal yang lebih dari cukup. Seingat Bary ia tidak menyebutkan berapa nominal yang diminta. Lalu ada satu pesan. Ayahnya.

Kalau kamu mau pulang, Papa selalu nerima kamu, Nak. Kamu anak Papa, mana mungkin Papa ngelarang kamu pulang. Tapi Papa minta, tolong kamu untuk terima perceraian kami. Dan kamu sudah menjadi tanggung jawab Papa, hak asuh kamu ada di Papa. Jadi Papa memohon dengan sangat, untuk pulang, kita bisa bersama kembali, berdua. [ Received 01:37]

Bary semakin tidak dapat membendung rasa sedihnya. Sebuah senyum tersungging di wajah tampannya. Bary mengatur nafas. Tatapannya kembali normal.

*

Renna menatap hampa ruang operasi Aris dengan deraian air mata. Renna memeluk lengan Bary, mencengkram lebih tepatnya. Lalu tepukan dibahunya menyandarkan lamunan dan tangisannya. Bary.

"Ren, udah, udah. Duduk dulu, minum dulu ya. Gue bawa air nih."

Suara sesegukan Renna mulai berhenti saat minum air dan Bary mengusap-usap punggungnya. "Makasih, Bar." Renna memberikan botol air nya kembali. Renna menerawang ruang operasi. Tatapannya hampa. Perasaannya tidak enak. Entah mengapa Renna sudah tenang, pikirannya mengatakan bahwa ia sudah harus merelakan bahwa jika memang Aris diharuskan dipanggil Tuhan. Namun lamunannya terpecahkan saat mendengar suara Alicia.

"Nggak! Aris nggak boleh ninggalin Alicia sendiri! Aris udah janji, Ma!" Renna tersentak, wajahnya pucat. Apa yang ia pikirkan barusan? Ia harus percaya seperti Alicia, bahwa Aris bisa dan dapat bertahan hidup. Renna kembali menangis, kembali sesegukan. Bary mulai mengelus pelan punggungnya lagi. Renna melihat Bary sekilas, air matanya sudah di ujung. Matanya sudah sangat i Mungkin kalau Bary seorang wanita seperti Renna dan Alicia, Bary akan terisak sangat keras.

"Ren, gue ke kamar mandi dulu, ya."

Renna mengangguk. Bary menghilang dari bayangan mata nya. Tatapannya kembali ke Alicia yang sesekali meraung di dekapan Mama nya. Mata Alicia sudah sangat sembab, bisa saja dia jatuh pingsan kalau Mama nya tidak memeganginya sedari tadi.

*

Bary sudah tak sanggup menahan tangisnya. Air matanya sudah tak bisa dibendung. Semuanya sudah keluar. Tumpah. Perasaannya tidak enak. Bary merasa bahwa ini memang waktunya melepas Aris. Pikiran itu menghantuinya, atau memang hanya dia? Tapi Bary harus tetap percaya pada Aris. Ia tahu bahwa Aris kuat. Bary mengatur nafasnya, mengusap air matanya dengan kasar dan menatap langit-langit. Sekarang sudah pukul tiga. Operasinya akan selesai satu jam lagi.

"Semua tergantung sama lo, Ris. Kalau lo kuat, lo masih bisa ketemu dan main sama kita. Kasian Alicia, lo sayang dia, 'kan?" Bary tersenyum masam. Tatapannya kosong. "Kalau lo liat, kita semua lagi doain lo. Apalagi orang yang lo cinta, Alicia bisa gila kalau lo tinggal."

Bary mengatur nafasnya. Menormalkan suaranya. Setelah sudah normal, ia kembali masuk ke dalam rumah sakit. Bary menatap Renna yang tersenyum dalam isak, Alicia yang tersenyum memeluk Mamanya. Ada apa?

"Ren?" tanya Bary sambil menepuk pundak Renna.

"Bary! Aris, Bar! Aris! Dia udah selesai operasi! Berhasil!"

Renna sangat menggebu-gebu. Namun sorot matanya masih kecewa. "Ada hal yang lain, Ren?"

Senyumnya memudar. Benar dugaan Bary. Ada sesuatu. "Tapi Aris belum sadar." Renna mengembuskan nafas, menenangkna dirinya sendiri. "Gue nggak pa-pa. Nggak usah panik gitu muka lo. Mending khawatirin Alicia. Dia belum tau. Orang tuanya nggak ngasih tau." Renna menatap Alicia yang sudah cerah itu.

"Padahal gue udah ngerencanain pergi berdua sama Aris setelah UN. Pas prom juga bareng jalannya, dia bakalan jemput gue naik mobil. Payah, dasar nggak nepatin janji." Renna mengumpat sambil tersenyum masam. "Padahal dia udah ngasih tau tempat yang bagus buat ditempatin." Suara isakan Renna kembali terdengar. Matanya terlihat sangat hampa.

"Gue udah rela Bar kalau Aris ninggalin gue."

Satu kalimat dari Renna membuat Bary menatap wajah Renna dengan kaget. Ekspresi Renna datar, lebih tepatnya hampa dan kosong. Mulut Bary terkatup, tidak mampu berkata. Tenggorokannya tercekat, tidak mampu mengatakan penolakan. Hati kecilnya juga sempat berkata seperti itu.

"Lo juga sama 'kan Bar?" Suara dan tatapan Renna benar-benar membuat Bary bungkam. Pernyataan Renna memang benar. Bary menatap Alicia dengan tatapan iba. Alicia sudah terlihat tenang dari sebelumnya.

"Gue mau ke kamar mandi dulu, Bar."

Suara Renna membuyarkan lamunan Bary. Bary hanya mengangguk dan Renna berlalu. Bary menatap punggung Renna yang masih terlihat sesegukan.

Dokter terlihat keluar dari ruangan dengan menghela nafas. Ekspresi wajahnya sangat kecewa. Degub jantung Bary tidak beraturan. Perasaannya tidak enak.

"Bar,"

Tepukan di bahunya menyadarkan Bary. Renna. Renna menatap Bary bingung. Terdengar Alicia kembali menangis. Renna dan Bary membatu. Renna menahan isaknya, mendekap mulutnya yang akan menangis. Bahu Renna begetar. Bary mendekap tubuh Renna, mengusap punggung Renna sambil menutupi dirinya yang menangis.

*

Pagi itu hujan menghempaskan dirinya ke bumi, membalut seluruh kesedihan orang-orang disana. Seluruh mata memandang berwarna hitam. Hari itu semua sedang berkabung. Menatap kepergian seseorang yang paling tidak dapat dilupakan. Segala kerusuhan, kegaduhan, maupun prestasi yang sudah membekas dan tersimpan diseluruh memori yang datang saat itu.

Bukan. Perpisahan bukanlah sesuatu yang memisahkan, melainkan sesuatu yang menemukan seseorang dengan yang lainnya di beda dunia. Mereka yang meninggalkan selalu berada di sekitar orang-orang yang selalu menyayanginya. Bahkan semakin dekat. Semakin dekat walau tidak bisa bersentuhan secara langsung.

Terlihat Alicia sudah duduk diam di samping peti. Renna memegang sebuah bingkai foto. Bary menatap dari kejauhan. Mereka semua sedang mencoba untuk melepas ke pergian seseorang. Dalam hati kecil Bary, ada suara yang mengganggu.

Ingin rasanya menyalahkan kepada seseorang. Siapa? Tidak. Tidak ada yang bisa disalahkan. Tuhan yang sudah menentukan ini semua. Tuhan menginginkan Aristia Natasha berada disisi-Nya saat ini.

***

SELESAI. YEYYYY.
Maafkeun saya yang benar-benar payah untuk ending. Karena saya nggak suka ending, apalagi ending berpisah *ehem*
Dan bagian ini sengaja saya panjangi. Heu.
Btw, kata-kata gue keren ya di ending nya. *applouse for myself*

Dan yaaaaa, saya akan menghilang untuk bersemedi disuatu tempat terselubung(?)

Saya akan menjomblo dipojokan untuk melanjutkeun garapan cerita straight yang greget bersama teman saya hohoho. Thanks for reading! See you in another gxg story! (if i still want to write lol)
Bye!

May, 3 2016 on Wednesday.

10:50 AM

My Charming GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang