10. Tak Ada Janji

66.5K 3.9K 62
                                    

"Duh, bisa gila gue." Ucap Evan sambil mengaduk-aduk asal minumannya. Teman-temannya mengernyitkan bibirnya, geleng-geleng kepala, tidak paham lagi dengan Evan yang tiba-tiba kangen sesosok Rachel.

"Jangan-jangan lo suka sama dia." Celetuk Wesley, Evan tersenyum miring sambil menggelengkan kepalanya. Gak, gak mungkin.

"Tapi, gue sih setuju banget lo sama si Rachel itu." Celetuk Mirna serius.

Alis Evan terangkat sebelah "Kenapa gitu Mir?"

Mirna membenarkan posisi duduknya, wajahnya terlihat serius "Semua kriteria cewek lo itu gak jauh dari kata bohay, seksi, cantik, dan gak ada lugu-lugunya sama sekali. Terus tiba-tiba lo suka sama cewek yang di luar kriteria lo tuh something banget Van. Pasti ada yang beda dari dia sampe lo tertarik sama dia."

Evan terkekeh "Bener juga sih, gue juga gak tau ternyata cewek lugu itu ngangenin," Evan tersenyum "terus gue harus apa? Jadiin dia pacar juga gitu? Gak yakin gue..."

"Ya, putusin aja semua cewek lo, terus jadian deh sama Rachel." Celetuk Alvin, tentu saja ini ide yang sangat bagus.

"Gila lo. Rachel bisa dilabrak abis-abisan sama cewek-cewek gue. Kasian kali."

"Terserah lo aja, Van. Pokoknya gue setuju banget kalo lo sama Rachel. Siapa tau aja lo jadi tobat gara-gara dia." Mirna tertawa, ia tau hal itu tak mungkin terjadi.

Evan pun beranjak dari kursinya, tak lupa mengambil rokok, korek, dan ponsel nya di meja "Udah ah, gue ke rumahnya Diva dulu, udah janji. Bye." Evan pun meninggalkan ketiga teman mereka yang mematung, masih aja sempet-sempetnya malah mau ketemu sama pacarnya yang lain.

--

Diva membuka pintunya setelah mendengar suara bel rumahnya berkumandang. Bibirnya tersenyum lebar sampai memamerkan gigi ratanya. Ia benar-benar merindukan sosok yang ada di depannya kini, Evan.

"Evaaan, astaga kamu kok lama banget sih? Aku baru aja mau nelpon kamu." Ucap Diva sambil senyum-senyum malu, membuat Evan tersenyum melihatnya.

"Maaf tadi di jalanan macet. Udah kangen banget ya emangnya?" Evan tersenyum miring, Diva langsung memukul pelan lengan Evan. "Udah ah, masuk yuk."

Menonton film di sofa yang empuk sambil memakan pop corn dan cuddling bersama seorang yang Diva sayang merupakan hal yang sangat menyenangkan dalam hidupnya. Rasanya ia tak ingin berubah dari posisi ini. Ia tak mau waktu cepat berlalu. Berada di pelukan Evan seperti ini benar-benar membuat dirinya nyaman.

"Van, aku mau nanya deh sama kamu," ucap Diva tetap memandang lurus ke TV. Evan menelan ludahnya, jangan sampai dia tau kalo gue selingkuh.

"Ta-tanya apa sayang?" Evan berusaha keras menenangkan dirinya dan tak terlihat gelagapan.

Diva membenarkan posisi tidurnya, kini ia menghadap Evan, menatap mata hazelnya "Kenapa sih kamu gak pernah pasang foto sama aku di Line atau Instagram? Malu kamu pacaran sama aku?"

Evan bernapas lega, ternyata hanya pertanyaan sepele. Sebenarnya tak sepele juga sih, kalau begini kan Evan harus mencari-cari akal lagi untuk berbohong. Gak mungkin kan dia jujur kalau dia takut ketahuan sama pacar-pacar dia yang lain.

"Sayang... kamu tau kan kalo papa ku tuh suka banget ngelacak aku dan kepo sama kehidupan aku? Kalo dia tau kamu itu pacar aku, papa ku bisa-bisa cari kamu sampe ketemu, terus diintrogasi deh. Aku gak mau papa ku ngelakuin itu ke kamu."

Diva tersenyum mendengarnya, membuat rasa sayangnya pada Evan semakin bertambah, ia memeluk badan besar Evan "Aku sayang kamu."

Evan tak membalas ucapan itu, ia hanya tersenyum sambil mengusap lembut rambut Diva. "Janji jangan tinggalin aku." Ucap Diva dan mendapat sambutan tawa dari Evan. Sebenarnya ia paling tidak suka dituntut untuk membuat janji, because he's not good at making promises.

Dan Diva sudah biasa tidak mendengar ucapan janji itu dari mulut Evan.

*

Hari itu pun datang, hari dimana Rachel akan bertemu orang tua Evan. Jantungnya berdegup kencang tak karuan, ia sudah pernah seperti ini sebelumnya, saat bertemu orang tua Dikta, tapi itu sudah terlampau lama.

Rachel memakai tank top hitam, tak lupa dengan cardigan berwarna putih untuk menutupi lengannya, dan rok hitam di atas lutut dengan motif bunga-bunga.

Tapi Rachel kini sedang memanyunkan bibir nya sambil duduk di mobil Evan. Ia melipat tangannya di depan dada dengan dahi berkerut. Ia sudah dijelaskan segalanya oleh Evan mengenai tempat tinggalnya dengan orang tuanya, membuat Rachel kesal pada Evan "Kenapa harus boong sama mama ku?" ucapnya dengan dahi berkerut.

"Ya ... abisnya kalo aku ceritain aslinya, nanti kesannya kayak curcol. Jadi cari yang singkat-singkat aja deh, hehe." Jelas Evan sambil cengengesan, melihat Rachel yang marah seperti itu sangat lucu baginya.

"Ya emang kenapa kalo curcol? Aku gak suka orang boong, apalagi boongnya sama orang tua ku." Rachel kini menahan kesal. Evan rasanya ingin tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Rachel yang lucu itu, tapi ia tahan, takut Rachel tambah marah.

"Iya iya... maaf deh, janji gak bakal ngulang lagi." Evan tersenyum menatap Rachel, Rachel juga tersenyum perlahan, ia memang tak suka berlarut pada kemarahan.

Jantung Rachel kembali berpacu cepat mengingat ia akan bertemu orang tua Evan. Rasanya ia ingin buang air kecil, beginilah Rachel saat sedang deg-degan.

"Kak, papa mamanya gak galak kan?" tanya Rachel dengan wajah polosnya menatap Evan yang sedang fokus memperhatikan jalan.

Evan terkekeh "Gak kok. Papa mah galaknya sama aku doang, Hel." Rachel pun tertawa mendengar lontaran itu, kayaknya semua bapak-bapak pada galak ya sama Kak Evan.

Akhirnya mereka sampai di rumah Evan, rumah yang besar dan minimalis kini terpampang jelas di mata Rachel. Rachel menelan ludahnya dengan susah payah, seperti ada batu di sana sehinga ia sulit menelan. Ia meremas rok nya sedari tadi, terlalu takut dengan orang tua Evan.

Evan dan Rachel pun memasuki rumah Evan. Papa mama Evan—Hansen dan Nana—sudah berdiri di sana dengan senyumnya. "Hai pa, ma." Evan tersenyum singkat menyapa orang tuanya. Nana langsung memeluk Evan erat, ia benar-benar ingin melepas rindu dengan anak semata wayangnya ini.

Rachel pun berjabat tangan juga dengan orang tua Evan, sambil tersenyum ramah dan menyebutkan namanya.

"Ini Rachel, pa, ma, dia pacar Evan."

Rachel terdiam, menahan senyumnya sekuat mungkin. Pacar Evan, dua kata yang sepertinya mengajak jantung Rachel untuk memompa darah lebih cepat.

Hansen tersenyum, wajah Rachel yang lugu dan cara bicaranya yang sopan benar-benar menenangkan hatinya. Putranya kini berada di tangan orang yang benar, ia tak perlu khawatir lagi, hanya saja ia harus mengenal Rachel lebih dalam.

"Ya udah, yok kita makan." Ucap Nana tersenyum lalu mereka pergi menuju ruang makan.

--

"Jadi ... kamu lebih muda dari Evan?" ini rasanya dunia seperti terbalik, kini papa nya Evan yang menginterogasi Rachel, hanya saja caranya jauh lebih baik dibanding cara Fajar pada tempo hari.

"I-iya, om," jawab Rachel gugup "ki-kita waktu itu gak sengaja ketemu di ... restoran, iya, restoran. Terus jadi temenan sampe sekarang, eh maksudnya, jadi pacaran sekarang, hehe." Rachel diam-diam meremas rok nya karena terlalu gugup. Evan rasanya ingin memegang tangan kecil Rachel yang sedari tadi meremas-remas roknya, tidak ada yang perlu ditakuti Rachel pikir Evan.

Hansen mengangguk-ngangguk lalu tertawa kecil "Kayak di sinetron-sinetron aja kalian ini. Ketemu gak sengaja, eh malah jadian." Mereka semua yang ada di meja makan pun tertawa. Rachel sedikit lebih lega karena Hansen sedikit mencairkan suasana yang menegangkan ini baginya.

****

semoga sedikit menghibur sebelum menghadapi monster-day esok hari huahaha

tapi gak apa-apa monster-day, yang penting bisa ketemu doi HAHA.

dah ah.

Meet a PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang