Di saat sedang asik berbincang, Hansen langsung teringat akan sesuatu dan justru ini adalah hal terpenting yang tidak boleh ia lewatkan. Ia langsung menyenggol tangan Nana, memberikan kode untuk mengikuti rencana mereka tadi-Hansen mengajak bicara Rachel dan Nana harus mengajak Evan menjauh dari sana, tanpa membuat Evan curiga.
"Oh ya Van, sini sebentar deh, ada yang mau mama omongin." Evan menangangkat sebelah alisnya, bingung. Mendengar itu, membuat Rachel merasa tidak enak. Ia takut kalau Nana nanti membicarakan hal-hal yang tidak-tidak tentang dirinya pada Evan.
Nana pun beranjak dari tempat duduknya, begitu juga Evan. Mereka pun pergi meninggalkan ruang makan, menyisakan Rachel dan Hansen. Sedikit awkward bagi Rachel karena hanya berdua dengan Hansen di sini.
"Rachel, ada yang mau saya omongin," Hansen berdeham "saya boleh minta tolong sama kamu?"
Rachel terdiam, minta tolong apa nih maksudnya? Ia ingin melontarkan pertanyaan itu tapi terasa seperti ada yang menahannya dan alhasil ia pun hanya tersenyum "Boleh kok om hehe. Minta tolong apa?"
Hansen menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya dan menatap mata Rachel intens, ia terlihat sangat serius "Jadi, saya dan mamanya Evan ini udah capek banget nasehatin Evan. Evan ini anaknya luar biasa bandelnya dan apapun yang kami bicarakan sama dia, gak akan ngubah dia dari kenakalannya itu,"
Rachel mengangguk pelan, memang terlihat jelas Evan adalah anak yang nakal semenjak pertama kali Rachel melihatnya "nah, prinsip hidup saya itu adalah wanita yang saya cintai akan dapat mengubah hidup saya."
Alis Rachel menyatu "Maksudnya, om?"
Hansen tersenyum "Prinsip itu mau saya terapkan pada Evan. Evan gak akan berubah kalo saya sama ibunya yang bicara, tapi kamu, wanita yang Evan cintai, pasti bisa ngubah dia."
Rachel tersenyum miris, sayangnya status ini hanya berpura-pura, tentu saja rasa Evan pada Rachel juga pura-pura. Tapi, jika Hansen sudah mempercayakan hal ini pada Rachel, dengan senang hati ia akan melakukan hal itu semaksimal mungkin "Tapi om... saya sama dia juga masih baru pacaran, saya gak yakin bisa ngubah dia seratus persen dalam waktu singkat." Ujar Rachel tak mau memberi harapan lebih pada Hansen.
"Oh ya gak apa-apa, semua itu butuh proses dan waktu. Saya percaya adanya proses. Yang penting, kamu mau kan nolong saya?"
Rachel tersenyum "Pasti om. Semaksimal mungkin."
Hansen tertawa "Saya dulu itu sama persis kayak Evan. Bandel, males-malesan, main aja kerjanya. Tapi begitu saya kelas 3 SMA, saya ketemu sama ibunya Evan dan dia ngerubah kehidupan saya jadi lebih baik. Makannya pas saya masuk kuliah, saya bener-bener serius dan puji Tuhan sampe sekarang saya sukses dalam pekerjaan,"
Rachel ber-oh ria, lucu juga cerita papa mamanya Evan hihi.
"Nah saya pengennya kamu bisa merubah Evan seperti ibunya Evan merubah saya. Dia ini udah kuliah semester tiga, masih aja nganggep semuanya ini sepele, saya gak mau itu."
Rachel pun tersenyum "Makasih ya, om."
"Makasih untuk apa?" tanya Hansen hati-hati.
"Makasih udah kasih kepercayaan ini ke saya." Rachel pun tersenyum tulus.
"Duh, apaan sih ma?" tanya Evan yang kesal karena makan malamnya harus terpotong, sedari tadi Nana mencari resep makanan di lemari bukunya, namun tak kunjung ditemukan juga. Sebenarnya itu hanya alasan Nana untuk mengulur-ngulur waktu, supaya Hansen bisa bicara lebih lama dengan Rachel.
"Nah, akhirnya ketemu." Ucap Nana dengan wajah sumringah nya sambil memegang buku resep macam-macam masakan Indonesia.
"Buat apa ma?" tanya Evan dengan dahi sedikit berkerut.
"Ini mau mama pelajarin, nah si Rachel bisa masak gak?"
Evan terdiam, tampak berpikir. Duh, mana gue tau dia bisa masak apa gak... eh, tapi teh buatan dia yang waktu itu enak, bisa jadi dia bisa masak. "Bisa kok ma." Jawab Evan asal.
"Bagus," Nana tersenyum "jadi tuh Hari Rabu temen-temen kantor mama mau mampir ke sini, nah mama kalo gak buat makanan kan gak enak dong. Jadi mama minta tolong Rachel buat bantu mama masak. Tau aja, Bi Inem kan paling gak bisa soal masak, yang ada bukannya ngebantu, malah ngancurin."
Evan menganga lebar "Jadi cuma begini doang mama harus narik Evan ke kamar mama? Duh maaa, aku kan lagi makan, ada si Rachel juga lagi, kan gak enak. Kalo kayak gini mah, mama ngomong aja sendiri sama Rachel nya." Ucap Evan yang kesalnya sudah mencapai ubun-ubun, ia paling tidak suka jika seseorang memotong acara makan nya.
Nana hanya bisa menyengir "Hehe iya deh maafin mama... tapi kamu yang tanya Rachel dong, masa mama yang ngomong."
Evan memutar bola matanya "Iya iya. Ya udah aku mau makan lagi." Evan pun keluar dari kamar, dikuti oleh Nana.
Sesampainya di ruang makan, Evan medapati Rachel dan ayahnya yang sedang fokus makan masing-masing. "Oh iya!" tiba-tiba suara Nana mengagetkan mereka bertiga. Nana mengambil sebuah toples berisi cookies dan ia berikan pada Rachel. "Rachel suka cookies gak?"
Rachel tertawa kecil "Ya ampun, gak usah repot-repot tante, aku udah makan di sini juga udah cukup kok hehe. Makasih tante."
"Ihh, gak apa-apa. Kalo kamu gak mau, saya malah tersinggung nih. Soalnya tante sendiri loh yang buat."
"Wah, tante suka buat cookies juga? Sama dong." Ucap Rachel antusias, ia sangat suka membuat kue. Tapi tidak untuk makanan berat, menurutnya itu terlalu ribet.
"Iya dong, tante mah suka banget. Nanti kita kapan-kapan buat bareng ya." Ucap Nana yang sama antusiasnya dengan Rachel. Melihat mereka akrab, membuat Evan tersenyum. Ternyata ini rasanya pas pacar ketemu sama orang tua toh...
--
Selesai makan, Rachel dan Evan berbincang di teras rumahnya. Kejadian ini benar-benar hampir sama persis dengan saat Evan di rumah Rachel.
"Papa mamanya Kak Evan baik-baik ya." Rachel tersenyum, memandang lurus ke depan.
Evan terkekeh "Ya begitulah. Tapi kalo gak ada kamu, aku mungkin bisa diomelin sama papa abis-abisan kayak biasanya." Rachel pun tertawa, membayangi Evan yang sedang diomeli Hansen.
Entah kenapa, perasaan itu datang. Perasaan yang memaksa Evan untuk memiliki Rachel. Evan benci keadaan seperti ini, Rachel masih terlalu polos baginya, kasihan kalau Rachel harus dijadikan pacar ke delapan.
"Hel, udah punya pacar?" Evan sendiri juga tidak tau kenapa harus menanyakan hal bodoh seperti ini. Evan pun merutuki dirinya karena sudah masuk ke dalam zona 'mau nembak' ini. Ah bodo, udah terlanjur.
Rachel terpaku menatap Evan, apa maksud dia nanya begini? "E-emangnya kenapa kak?"
Evan tertawa kecil "Masa aku nanya, kamu malah nanya balik. Jawab dulu dong pertanyaan ku."
Rachel menghilangkan segala pikirannya yang sudah terbang lima senti itu, mungkin Kak Evan cuma iseng aja nanya begini. "Be-belom kak. Kenapa?"
Evan mengangguk "Kalo ... aku suka sama kamu, gimana?"
Rachel sontak menganga, jantungnya tiba-tiba terasa jatuh dari tempatnya begitu mendengar pernyataan Evan tadi. Astaga, aku harus apa?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet a Playboy
Teen Fiction[ cerita telah diterbitkan; beberapa part dihapus; untuk pemesanan chat line: liza_k ] Gadis berparas cantik dengan wajah lugu, Rachel Diandra, dipertemukan dengan sesosok raja playboy di sebuah club saat ia baru pertama kali ke sana bersama teman-t...