12. Terima atau Enggak?

65.8K 3.8K 171
                                    

"Kamu mau gak jadi pacar ku?" Evan memperjelas kalimat sebelumnya, membuat bulu-bulu Rachel beridiri seketika. Darahnya berdesir cepat dari ujung kepala ke ujung kaki. Telapak tangannya mengeluarkan keringat dingin karena terlalu deg-degan.

Bingung mau menerima atau tidak. Tidak ada orang lain pun di sana yang bisa menolong Rachel. Rachel menundukan kepalanya sambil menggigit keras bibir bawahnya, terlalu takut memandang manik milik Evan. Sementara sedari tadi Evan menunggu sepatah kata apapun yang akan keluar dari mulut Rachel.

"Kalo aku jawabnya nanti, boleh gak?" akhirnya Rachel angkat bicara, ia kini berani memandang manik mata Evan. Evan setengah lega karena Rachel akhirnya angkat bicara, tapi setengahnya lagi masih gundah karena jawaban yang belum pasti ini.

Sial, gue digantungin.

"Hm, oke, ya udah. Kamu mau jawab kapan?" tanya Evan, sedikit sabar menghadapi anak kecil satu ini.

"Hmm ... besok malem?"

Evan mengangguk "Oke deh." Ia pun tersenyum dan dibalas oleh Rachel. Sebenarnya Rachel sekarang merasa sedikit canggung dengan Evan, tapi, Evan langsung merangkul Rachel, membuat suasana menjadi tak terlalu canggung "Ya udah, kita pulang yuk, aku anter."

--

Mereka pun sampai di depan rumah Rachel. Mendengar suara bel berbunyi, Fajar langsung cepat-cepat keluar. Awalnya, wajahnya tersenyum melihat Rachel, lalu berubah menjadi datar saat melihat Evan ada di sana.

"Dari mana kamu?" tanya Fajar dingin pada Rachel, dengan kedua tangan di belakang punggung.

"Aku..." Rachel tampak berpikir, kalau bilang main ke rumah Evan, papa nya kan taunya rumah Evan ada di Bandung. Rachel pun mencari-cari ide untuk berbohong "aku... aku ke acara ulang tahun temennya Kak Evan, hehe." Rachel sengaja melontarkan hal itu mengingat baju yang ia kenakan malam ini sangat rapi.

Alis Fajar terangkat sebelah "Emangnya kamu kenal sama temen-temennya Evan?"

Rachel mengangguk "Kenal beberapa sih hehe."

Fajar mengangguk singkat "Ya udah, masuk." Fajar pun meninggalkan mereka, tanpa bertegur sapa sedikitpun dengan Evan.

"Maaf ya kak... maaf banget papa ku kayak gitu." Tentu saja ini tidak mengenakan bagi Rachel. Kalau tidak ada Evan, Fajar bisa tertawa-tawa sepuasnya, bahkan tidak terlihat benci sedikitpun pada Evan, lalu kenapa setiap kalo ada Evan ia selalu bersikap dingin?

Evan tersenyum tulus "Gak apa-apa Racheeel. Mungkin papa mu lagi bete."

Rachel tertawa, papa bete? Kayak anak muda aja.

"Ya udah, kamu masuk sana, ditungguin sama papa kamu. Selamat malam, peri kecil ku." Evan mengusap puncak kepala Rachel sambil tertawa kecil. Rachel tersenyum dengan wajah merona. Peri kecil...

"Hehe, selamat malem juga, Kak." Rachel pun memasuki rumahnya, walau sebenarnya ia tak mau, ia masih mau berlama bersama Evan. Tapi, waktu yang sudah larut ini tak mengijinkannya.

*

"Hah?! Nembak?!" Alya, Henny, dan Eva menganga lebar mendengar cerita Rachel soal yang semalam. Bagi mereka, Rachel merupakan cewek yang beruntung sekali. Ditembak sama cowok ganteng yang umurnya lebih tua, benar-benar cowok kriteria mereka.

Rachel menganguk sambil tersenyum kecil "Terus, lo terima kan?" tanya Eva yang rasa kekepoannya sedang memuncak.

Rachel menggeleng, membuat ketiga temannya melengos. Mereka benar-benar kesal saat mengetahui Rachel tak menerima Evan. Apa sih yang ada dipikiran Rachel?!

"Kenapa gak lo terima? Ih." Ucap Alya yang sudah gondok dengan sahabatnya yang satu ini.

Rachel kembali menggeleng "Bu-bukannya gak diterima, tapi gue ulur dulu. Jawabannya nanti malem, soalnya gue pengen rundingin dulu sama kalian."

Henny, Eva, dan Alya luluh mendengar pernyataan Rachel. Ternyata suara mereka benar-benar dibutuhkan dan didengar Rachel. Membuat mereka bertiga semakin sayang padanya.

"Perasaan lo sendiri gimana ke dia? Suka kan? Ya udah terima aja." Ucap Eva santai, tak terlalu memikirkan resiko ke depannya. Mereka kan baru kenal sebentar, apa yakin hubungan mereka nantinya bisa langgeng?

"Suka sih Va... tapi kan gue sama dia baru kenal bentar. Gue sama dia masih belom terlalu tau tentang satu sama lain." Jelas Rachel.

"Gini aja deh, lo nyaman gak kalo lagi sama dia?" tanya Alya yang membuat Rachel diam. Jawabannya iya, namun Rachel belum melontarkannya. Apa ini artinya aku harus terima dia? "Kalo nyaman sih, mending terima aja. Kapan lagi cewek suka sama cowok, terus cowok itu nembak si cewek? Kan jarang banget tuh." Tambah Alya. Rachel langsung mengangguk setuju.

"Jadi, gue terima aja nih?"

"Terima," jawab Henny, sambil melipat tangan di dada, layaknya bos. "pokonya, besok gue harus udah denger kabar kalo lo jadian sama Evan."

"Aku mau kita putus!" ucap Mei-salah satu pacar Evan-di seberang sana, membuat kepala Evan semakin pusing. "Kenapa sih, sayang?"

Mei, si cewek keturunan Tiongkok yang sangat cantik itu memutar kedua bola mata nya. Rasanya ia ingin mencabik-cabik daging Evan sekarang juga. Rasa psikopat dan beringasnya keluar setiap kali mengingat kecuekan Evan belakangan ini "Masih nanya lagi! Kamu tuh belakangan ini gak pernah nelpon atau Line aku duluan tau gak! Selalu aku apa-apa yang duluan mulai! Kamu udah bosen sama aku ya?!"

Suara melengking milik Mei benar-benar sukses membuat kepala Evan pening. Rasanya ia ingin mematikan teleponnya dan kembali tidur, namun ia bisa-bisa besoknya sudah tidak bernyawa lagi kalau ia mematikan teleponnya.

"Ya, aku kan belakangan ini sibuk kuliah. Kamu ngertiin kek..." jawab Evan malas dan berbohong.

"Kamu sibuk kuliah? Boong! Kamu pikir aku cewek bego yang percaya gitu aja hah?! Pokoknya kita putus!"

Evan memijat pelan pelipisnya, lebih baik ia iyakan saja permintaan cewek yang satu ini, daripada suara cemprengnya itu semakin membuat gendang telinga Evan pecah "Ya udah kalo itu yang kamu mau. Kita putus aja."

"Ya udah! Bhay maksimal!" Mei langsung mematikan teleponnya. Evan langsung kembali merebahkan dirinya di kasur, menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya.

Ponselnya kembali berdering, nama Mei tertera di sana. Evan kembali menghela napas berat, mau apalagi sih dia? "Halo,"

"Evan mah! Kamu kok gak ngalangin aku pas minta putus sih?!" Mei memanyunkan bibirnya, mata Evan melotot sempurna, ini cewek gila ya?

"Lah, jadi kamu maunya putus apa gak sih?"

Mei menarik napas panjang "Ya, aku tuh mau kita putus. Tapi aku juga maunya kamu ngalangin biar kita gak putus, gitu!"

Evan tak bernapas, mulutnya menganga di sana, ia bisa gila jika harus berhadapan dengan cewek seperti ini. "Pokoknya sekarang aku mau kamu ke rumah aku sekarang, terus kita shopping. Kalo kamu gak dateng, aku bakar apartemen kamu!" Mei langsung mematikan sambungan telepon. Evan hanya membeku di sana, tak habis pikir dengan kelakuan ceweknya yang satu ini.

Sementara Rachel tengah melamun di kelas pelajaran Sejarah. Ia senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana nanti kalau Evan dan Rachel sudah jadian. Bu Ita pun memberhentikan kegiatan bicaranya mengenai penjelasan pelajaran tersebut. Ia memperhatikan Rachel yang sedari tadi melamun sambil senyum-senyum. Bu Ita pun mencebikan bibirnya, "Rachel!"

****

makasih yaa yang sudah mau baca cerita ini dan vomment di chapter-chapter sebelumnya :) sayang kalian banget pokoknya!! xoxo!


Meet a PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang