Bagian kesepuluh

129 4 0
                                    

Bersyukurnya hari ini cuacanya cerah. Jadi aku bisa mengajak Ain untuk menghilangkan galaunya. Tempatnya ramai, banyak makanan pastinya dan yang pasti aku berharap dapat mengembalikan senyumnya kali ini.

'Kita mau kemana de?' tanya Ain yang tangannya terus aku tarik menuju suatu tempat.

'Jangan bawel bisa?' kataku melirik kebelakang.

Ain terdiam sambil nyengir. Aku melanjutkan perjalanan menuju tempat yang ku tuju. Kurang lebih 10 menit lamanya kami berjalan dan sampai. Yeyyyy..

'Taraa' kataku membuka tanganku lebar melihat ke arah pasar malam

'Pasar malem' ucap Ain melongo

'Iyes' kataku menaik turunkan alisku. Tanpa berfikir panjang, aku langsung membawa ain menaiki satu persatu wahana.

Mulai dari permain ombak, bombom car mini, komedi putar dan yang paling seru masuk ke rumah hantu. Haha. Ternyata Ain cukup berani juga. Aku fikir dia hanya bisa menggiring bola. Sesekali ia iseng, mengacak ngacak rambutku dan aku sering kali menyubitinya.
Ketika kami sedang menuju tempat orang berjualan gulali. Di dekat sana sedang ada perlombaan. Lomba gendong pacar. Dan Ain mengajakku mengikutinya. Awalnya aku menolak, malulah masa gendong gendongan. Gak cocokkk. Tapi setelah Ain membujukku. Akhirnya aku ikutan juga deh. Memang sih rasanya senang bukan main. Meskipun cuma pacar sementara doang. Tapi aku bahagia, raut wajah yang tadinya murung. Kini kembali tersenyum. Terimakasih Tuhan, aku berhasil membuatnya tersenyum kali ini dan melupakan sedikit masalahnya.

Pukul 10 malam kami baru berjalan menuju kafe yang tadi. Karena motor kami disana. Sepanjang perjalanan, ia bercerita kejadian gendonggendongan tadi yang membuatnya encok dan bilang kalau aku kegendutan.

'Encok nih kakak' ucapnya memijat pundaknya.

'Siapa suruh. Ikut gendong gendongan gitu' kataku meledeknya

'Ya tapi kamu senengkan digendong kakak?' Tanya Ain dengan senyum yang ngeledek.

'Hihhh. Sok bet ganteng lo senyumsenyum' jawabku sewot.

Terus seperti itu. Ledek ledekan sepanjang jalan menuju kafe. Tapi melihat tawanya yang lepas saat bersamaku sudah jauh lebih cukup untukku. Biarkan saja. Kusimpan perasaan ini. Aku tak ingin merubah segalanya. Senyumnya, tawanya, candaannya, semua tentangnya terasa sangat berarti. Jika aku jujur, aku yakin. Itu akan merubah segalanya. Cukup seperti ini Tuhan. Aku sudah kehilangan Nadin sahabatku. Jangan biarkan aku kehilangan Ain juga. Gara gara perasaan ini. Iya. Jangan lagi :')

kamu (cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang