Kesembilanbelas

114 2 0
                                    

*hening*

Bungkam. Apa masalahnya? Sorotan mata tajam melihat satu sama lain. Hatiku bergetar. Jantung berdetak kencang. Membingungkan. Semakin ku tahan, semakin tak ku mengerti. Mulutku mulai tak sabar ingin berbicara. Aku mulai menelan ludah, menarik nafas dalam dalam.

'Apa ada masalah?' Tanyaku melihat ke arah mereka berdua. Nadin yang hanya menunduk dan Andi yang memandangku seperti itu

'Ini yang lu mau?' Andi menggenggam tangan Nadin

'Maksudnya?' Tanyaku bingung

'Nadin suka sama gua? Iya? Jawab!' Andi mulai mengencangkan suaranya. Nadin hanya diam. Seperti ingin menangis.

Aku menggigit bibirku, memalingkan wajahku.

'Apa harus kayak gini?' Nadin mulai berbicara.

Ku angkat kepalaku dan berkata 'bisa lu jaga Nadin? Gua gak punya waktu banyak. Dia sahabat gua. Gak peduli seberapa menyebalkannya dia selama 2 bulan ini. Dia tetep sahabat terbaik gua. Dia pantes mencintai lu, mendapatkan lu. Dia baik dan cantik. Bisakah lu mencintainya dengan setulus hati lu? Gua mohon. Jaga sahabat bodoh gua itu' kataku sesambil memberi garis lengkung di bibirku

'Felin..' ucap Nadin

'Gua balik ya. Dahh...' kataku meninggalkan kafe itu.

Selama diperjalanan menuju pulang aku air mataku tak mampu lagi kubendung. Aku bahagia, tapi disisi lain. Aku sakit. Sakit karena waktuku tak kan lama disini. Berpura-pura tak terjadi apa apa itu menyakitkan, bukan?

***

Dokumen pindahanku lengkap. Ujian juga akan segera datang. Sebelum ujian,aku berfikir untuk jujur ke Ain. Evin juga menyarankan begitu saat kami belajar bareng

'Mau sampai kapan?' Tanya Evin sambil mengetik tugas akhir sebelum ujian

'Maksudnya?' Tanyaku balik. Melirik ke arah Evin

'Ya, tentang rasa lo. Sama si Ain itu. Dia udah kuliah lin. Dia pasti udah punya gebetan lain' jelas Evin

'Terus gua harus gimana?' Menghentikan tulisanku.

'Ya lu gak sakit diem terus gitu?' Ucap Evin

'Sakit? Gua bisa apa? Rasanya cukup untuk jadi pengagum dia yang rahasia' jelasku

'Aih, terserah lu lah'

'Lu tau vin? Lo gak bisa maksain apapun. Terlebih lagi soal perasaan. Gua cinta Ain. Dia cinta pertama gua. Gua mau dia bahagia dengan caranya. Meskipun kebahagiaanya bukan karena gua' kataku tersenyum ke arah Evin.

Evin hanya melihat ke arahku. Mungkin aku terlalu takut Ain menjauh saat aku jujur. Lebih baik diam dalam rasa sakit dibanding harus mengatakan perasaan yang belum jelas adanya. Lagian aku segera pergi. Aku akan melupakannya. Aku berjanji. Aku pasti melupakannya.

kamu (cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang