15 - Cabut ber-2.

127 12 3
                                    


Sekarang aku berada di atas motor yang dikendarai laki laki sok- ganteng. Emang ganteng sih tapi dia sama sekali tidak menarik di mataku saat sedang menyebalkan seperti sekarang. Seenaknya nyalahin orang, padahal salah sendiri ujan ujanan. Eh- itu dia demi aku kah? Hihi.

"Kenapa lo senyum senyum?" Sentak laki laki didepanku ini. Mukanya terlihat flet sekali dari spion.

"Ha? Eh- enggak." Gumamku.

"Lo jangan kepedean jadi orang. Gue ini bukan jemput lo jadi gak usah kegeeran!" Bentaknya.

Senyumku berubah menjadi raut sebal. Gak jemput gimana? Ada orang yang sengaja  nyamperin pagi pagi terus kesekolah bareng? Bukan jemput?

Tiba digerbang sekolah. Mataku membulat sempurna saat mendapati upacara sudah dimulai. Mampus deh!

"Gimana nih? Kita telat." Laki laki didepanku ikutan memperhatikan barisan murid didalam gerbang sekolah. Tampak sedang membaca UUD.

"Kita?"

Aku sontak menengok ke arahnya.

Dia kembali menyalakan mesin. "eh eh mau kemana?" Ucapku panik saat kendaraan ini mulai menjauhi gerbang sekolah. Jangan bilang dia ingin membawa ku kabur?

"Diem! Kita dateng kesekolah jam 8 atau setengah 9 aja selesai upacara. Dateng sekarang juga kita bakalan nunggu lama!"

"Ha?.. Kamu serius?"

Dia diam. Berarti...
Ya gitulah. Muka nya ngeselin. Tapi..
Isi sendiri lah.

"Terus kita kemana dulu?" Ucapku pelan. Dia tampak serius mengendarai motornya tidak mendengar pertanyaanku, ucapaku seperti angin yang numpang lewat.

Motornya terus melesat dengan kecepatan tinggi. Membuat ku harus mengeratkan peganganku dengan tas gendongnya. Tiba disebuah tempat. Pemakaman?

Motor ini menepi dan memarkirkannya dibawah pohon rindang. Aku turun dari motor begitupun dia. Melepaskan helm yang ia kenakan kemudian berjalan tanpa mengubris aku ada disitu apa dia lupa aku dibawa?

Aku mengikuti langkah kakinya yang besar besar hingga harus sedikit berlari kecil. Setelah tiba didepan pusaran makam dia terlihat berjongkok, sambil mengelus pelan nisan yang sudah mulai kotor karena cipratan tanah.

Hening beberapa saat. Aku belum berani bertanya makam siapa ini?

"Dia ayahku?" Aku terlonjak kaget saat ucapan itu meluncur dari mulutnya. Terdengar suara yang lemah bukan seperti Delano yang aku kenal akhir akhir ini, keras.
Suaranya sekarang ini terlihat rapuh.

Aku berlutut disebelah Delano. Ingin sekali mengelus pundaknya supaya lebih tenang. Tapi rasanya berat sekali tangan ini telulur. Bagaimana jika dia marah lalu mengusir jauh jauh tanganku?

Saat aku melihat nisan ayahnya membuatku tersentak. Teguh Pradana. Dan  Meninggalnya ayah delano sama seperti kak Reno? Hari, tanggal, tahun. Sama.

Lututku lemas seketika. Dadaku terasa sesak.

"Itu makam adek gue."

Dia menunjuk makam yang berada pas disebelah makam ayahnya membuatku semakin melongo. Aku kembali melihat nisan adiknya? Raisa Pradana. Sama. Meninggal dihari, tanggal dan tahun yang sama.

Perlahan aku menarik nafasku berat. Berusaha senormal mungkin.

"Ayah sama adik lo meninggal kenapa?"

Dia terdiam sejenak sebelum mengucapkan.

"Kecelakaan."

Lutut yang semula masih kuat menahan sekarang sudah benar benar lemas. Aku teringat kak Reno. Ntah kebetulan atau apa setelah mendengar ucapan Delano membuat ku mengingat kecelakaan yang sudah merengut orang yang aku sangat sayangi.

DelanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang