28. huh,

105 6 0
                                    

Saat membuka mata aku sudah tidak asing dengan aroma seperti ini, aroma obat obatan yang menyerebak masuk kedalam indera penciuamanku, sungguh aku sudah menduga sebelumnya.

"Nad. Kamu gapapa kan?." Sebenarnya pandanganku pada seseorang itu masih belum jelas namun sudah bisa aku pastikan itu suara Alin.

Aku mengangguk lemah sebisanya.

Sedetik kemudian ada seseorang yang langsung masuk kedalam kamar ini dengan buru buru, itu Dikta. Wajahnya terlihat panik namun bisa kupastikan lagi kalau dia hanya ingin cari muka pada semua orang supaya terlihat baik dan di anggap pangeran yang baik hati dan tidak sombong, padahal Hell no!!.

"Eh kak Dikta, untung deh ada yang jagain Nadine soalnya aku mau pulang duluan kak, mami aku minta temenin beli obat ke apotik." Ntah kenapa aku tidak percaya akan hal yang baru saja diucapkan Alin, sebab yang aku tau selama ini orang tua Alin jarang sekali pulang kerumah karena selalu bekerja diluar kota.

"Oh yaudah kalo lo mau pulang mah pulang aja. Nadine biar gue yang jagain." Dia melirik ke arahku yang ternyata aku baru sadar aku sedang memperhatikanya, langsung aku membuang muka takut dia ke geeran. "Gak bakal gue gigit juga ni bocah." Balasnya dengan seringai kecil diwajahnya.

"Nad, aku pulang duluan ya, kalo ada apa apa kasih tau gue, inget ya harus kabarin. Lagian kamu sih ngapain coba lari larian ke arah gedung yang lagi direnofasi." Ocehanya membuatku semakin mual yang sedari tadi kutahan. Bukankah itu semua karena perdebatan aku dengan dirinya, trus kenapa dia bersikap kalau disini aku yang bodoh karena berlari diarea bahaya itu. Menyebalkan. "Yaudah aku duluan ya Nad, Kak."

"Ngomong terus kamu Lin, gih sana kalo mau pulang jangan kebanyakan omong, mual tau gak denger suara cempreng kamu." Batinku.

"Hati hati ya Lin, makasih udah nungguin aku tadi, maaf juga udah ngerepotin."

"Oke." Setelah itu Alin keluar dari kamar itu. Syukurlah.

Kepalaku masih terasa pusing, ada kain putih yang melingkar diarea kepalaku. Perban putih itu melilit luka sobek yang ada dikepalaku. Rasanya perih.

"Lo tuh bisa gak sih gausah ngerepotin orang lain terus? Bisa gak jaga diri? Bisa gak kalo gak ceroboh yang bisa ngecelakain diri lo sendiri? Bisa gak gausah bersikap kaya anak kecil yang hampir setiap saat bolak balik kerumah sakit?." Oceh laki laki yang sedang bersender ditembok dengan kaki ditekuk kebelakang dan tangan yang bersedekap didada, yang lebih mengerikan adalah tatapan tajam laki laki itumengarah padaku seolah bola matanya ingin keluar dari tempatnya.

"Hadehh.. Tadi waktu ada Alina lo keliatanya khawatir sama gue, tapi pas dia pulang lo malah sinis banget kaya gini, dasar muka dua!." Balasku sinis sambil membuang muka.

Dari ujung mata aku bisa melihat bahwa dia berjalan menghampiri ranjangku. Dan aku merasa bahwa dia duduk disisi ranjang.

"Segitu jahat kah gue dimata lo Nad?."

Sontak aku memutar kedua bola mataku malas. "Menurut lo?." Sautku tanpa sama sekali menatapnya.

"Hadeh."

**

Lusa adalah hari lahirku, tepatnya pada tanggal 11 januari. Namun ulang tahun ku yang kuimpikan akan indah seperti yang aku bayangkan dulu harus ku kubur dalam dalam. Diantara jutaan manusia yang sangat antusias saat ulang tahun ke-17 yang katanya paling istimewa menurutku adalah hal yang biasa, seolah aku takut menghadapi hari itu.

"Nad. Lusa lo ultah kan?." Tanya laki laki itu yang sedang memeluk snack yang tanpa izin mengambil didalam kulkas, mata nya tertuju pada semua Film action yang sedang kami berdua tonton.

DelanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang