19 - Namira?

119 11 0
                                    


"Hai Nad." Sapa seorang perempuan yang sudah lama aku tidak pernah lihat. Perempuan itu?

Kak Namira?

Mataku benar benar membulat sempurnya entah syok atau apa, saat ini perempuan yang aku cari cari sudah berdiri dihadapanku, ia mengenakan dress pendek berwarna biru itu tampak tersenyum sangat manis, tapi aku tak menyukai senyum itu.

"Sendiri?" Tanyanya saat melirik kursi kosong yang berada dihadapanku.

Aku mengangguk sekilas.

"Aku boleh duduk?"

Aku hanya mengangguk tanpa lepas dari tatapan mata perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah mantan kekasih Kak Reno.

"Gimana kabar kamu Nad?" Dia tampak tersenyum memamerkan gigi yang putihnya. senyumnya mematikan.

"Gak baik"

Dia menaikan sebelah alisnya.

"Eh- em.. Mm maksud aku baik kak." Jawabku kik kuk.

Dia terkekeh pelan melihat wajahku yang sekarang mungkin pucat. Ah masa bodo.
Apa yang harus aku lakukan? Padahal ada seribu pertanyaan yang ingin sekali aku tanyakan padanya, tapi satupun tidak berani keluar. Apa apaan ini?

"Kebetulan banget kita ketemu disini, ada banyak hal yang mau aku omongin ke kamu Nad." Dia diam sesaat "Terutama soal Reno."

Nafasku tercekat saat mendengar nama itu, ternyata dia sendiri yang mau cerita tanpa aku pancing.

"Oke. Aku tau pasti kamu dan orang tua kamu mengira kalau kematian Reno itu penyebabnya adalah aku, yah.. Aku tau aku salah, kalian boleh nyalahin aku." Dia menarik nafas panjang, lalu menghembuskan dengan berat.

Aku hanya menatapnya, menunggu kejelasan, menunggu maaf yang terlontar dari mulutnya untuk kak Reno.

"Aku tau aku salah, dan aku nyesel udah ninggalin kakak kamu Nad. Aku udah berusaha mensejajarkan perasaan aku sama kakak kamu, tapi apa? Udah hukum alam kalau.."

"Kalau kakak bosan?" Aku sedikit tersenyum sinis kepadanya. Memalingkan wajah adalah jalan yang langsung aku tempuh.

"Ck. Yah aku emang bosan sama kakak kamu, tapi aku gakpernah nyangka kalau kakak kamu bakalan pergi secepet itu, aku juga gak mau Nad." Sedetik kemudian air mata itu jatuh tanpa ada yang sudi mengelapnya.

Kalian boleh fikir aku jahat. Tapi tidak ada satupun orang yang ikhlas yang melihat orang yang disayang meninggal dalam keadaan sakit, bahkan lebih parah.

"Seharusnya kakak gak harus minta maaf ke aku, minta maaf sama kak Reno. Tapi yang masih aku belum terima adalah kemana kakak pas pemakaman kak Reno?"

"Oke kakak akan jujur ke kamu Nad, akan kakak jelaskan semua kesalahpahaman ini. Tapi janji sama kakak kalau kamu akan maafin kakak."

Aku menatapnya. Jujur rasanya aku ingin memaki maki perempuan dihadapanku ini, perempuan yang berstatus mantan kekasih dari kakak kandungku sendiri, tapi aku bisa apa? Tidak semua kesalahan ada pada dirinya, bukan aku yang berhak membalas semua. Biarkan.

Aku mengangguk sekilas. Mengambil kopi pait yang ada dihadapanku, yang mungkin juga sudah dingin. Menyeruputnya sedikit demi sedikit menikmati rasa pait yang mulai menyeruak masuk kedalam mulut.

"Alasan aku gak hadir dipemakaman kakak kamu itu aku juga datang ke pemakaman Papa dan adiknya Dikta, orang yang waktu itu sedang dekat denganku." Dia menunduk, aku tau dia sedang berkutat dengan rasa bersalahnya tapi aku tidak perduli akan hal itu. Ha? Tadi siapa namanya?

Dikta? Kakak Delano? Oh Tuhan, jangan katakan hal itu benar.

Aku tersenyum getir. "Ternyata kak Reno salah mencintai orang ya? Asal kakak tau kak Reno mencintai kakak! Dia cinta mati sama kakak, tapi apa balasanya? Bahkan anda lebih memilih orang lain dibanding.." Ahh aku muak mengatakanya. Aku beranjak dari kursi dan ingin segera keluar dari Cafe yang semula dingin menjadi panas.

"Nad tunggu! Aku belum selesai bicara, tunggu penjelasan aku dulu."

Aku menarik nafas berat, lalu menjatuhkan kembali dikursi dengan terpaksa.
"Aku gak perlu denger alesan kakak, tapi aku duduk lagi kesini cuman mau bilang ke kakak kalau kak Reno sempat membuat surat untuk kakak."

"Surat?" Dia tampak mengernyitkan dahi.

"Surat yang terakhir kalinya kak Reno buat. Dan itu buat kakak. Dia memegang surat itu saat kecelakaan itu, hingga dia meninggal surat itu masih tetap dia pegang." Aku refleks menghapus air mata yang ternyata sudah keluar ntah dari kapan, rasanya hatiku teriris sangat dalam bahkan hingga terasa perih yang amat sangat.

Namira melongo kaget saat mendengarnya. Aku tau dia kaget, aku harap dia akan menyesal seumur hidupnya karena telah menyianyiakan cinta yang kak Reno beri.

"Aku sama sekali gatau soal mm kalau kakak kamu bales surat aku Nad."

"Kakak gaktau? Atau pura pura gak tau? Atau emang gak mau tau?" Aku kembali tersenyum sinis.

Namira terdiam beberapa saat, pandanganya kosong. Ntah apa yang sedang ia fikirkan, ntah apa alasan yang masuk akal yang akan aku dengar dari mulutnya.

"Apa aku boleh liat isi surat itu Nad?"

"Buat apa kak? Buat apa? Semuanya udah terlambat, kak Reno udah pergi untuk selamanya, kakak seneng kan? Dan sekarang kakak bisa bebas tanpa adanya kak Reno."

Dia menggeleng pelan, air matanya turun. Aku kembali tersenyum sinis, mau bagaimanapun dia bicara aku sama sekali Belum terima akan hal yang membuat kak Reno sakit hati hingga meninggal.

"Pliss Nad." Saat ini dia menggengam tanganku pilu, tatapan mata itu, ah.

**

Semarah apapun aku kepada Namira tapi tidak bisa aku hindari kalau dia adalah salah satu orang yang dicintai Kak Reno, apa kak Reno marah jika aku merlakukan mantan nya seperti itu? Ah maafkan aku kak.

Saat ini kami (aku dan Namira) tengah duduk disamping ranjang kasur kak Reno. Yah akhirnya aku yang mengalah, setidaknya aku masih punya hati. Hitung hitung ini semua demi kak Reno. Pesan surat itu ditujuakan pada Namira, jadi sudah kewajibanku untuk menyampaikanya.

"Nih suratnya." Aku menjulurkan surat berwarna biru itu kehadapanya.

Dia terlihat sedang membolak balikan surat itu, membukanya, lalu membacanya. Sesekali dia terlihat menarik nafas panjang dan mengembuskanya dengan sesak, apa dia menyesal?

Sedetik kemudian air mata itu tumpah dari tempatnya, dia menangis. Aku memalingkan wajahku, jika terlalu lama menatapnya seperti ini lama kelamaan aku pasti juga menangis, dan itu sama sekali tidak lucu.

Dia menatapku.

Sedetik kemudian.

Dia memelukku dengan erat, menumpahkan semua air mata yang mungkin penyesalan itu.

"Aku minta maaf Nad." Ujarnya sambil menahan tangis. Aku hanya diam, memaksa perasaan agar membalas pelukan itu, namun tanganku terasa kaku, bahkan tidak bisa digerakkan.

Fikiranku masih memikirkan bahwa Dikta yang dimaksud Kak Namira adalah kakak kandung Delano? Apa benar? Apa kebetulan? Mungkin. Jika itu benar, kenapa laki laki itu tidak pernah jauh dari kepedihan yang menimpa hidupku, kenapa orang yang aku cintai adalah pelaku utama yang membuat air mata ku tidak pernah berhenti keluar.

Delano. Kenapa kamu harus hadir dihidupku kalau kenyataanya kamu adalah orang yang selalu membuatku menangis. Kenapa semua permasalah ini tidak bisa jauh dari nama kamu? Aku bingung Del.

Aku juga manusia biasa yang mau bahagia seperti orang orang, kenapa semua masalah lama kelamaan terbuka tapi malah membuatku semakin sakit setelah mengetahuinya. Kenapa Tuhan gapernah ngasih kebahagiaan buat aku walaupun cuman sedikit? Sesakit ini hidup dikeramaian tapi selalu merasa sendiri?

_________________________________

*Malem minggu saya updet. Berhubung cuaca sedang mendukung untuk saya melanjutkan menulis😂
Sebelumnya saya minta maaf jika banyak typo, karena ketik lngsung updet.
Lirik mulmed, itu ilustrasi Namira versi saya. Ehehehe:*

Next-

DelanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang