24 - Mimpi?

128 9 3
                                    

Nadine pov'

Aku kembali mengerjapkan mata, berharap itu hanya ilusi yang masih belum jelas akibat tidurku yang terasa begitu panjang. Dalam tidurku aku sempat bertemu dengan orang yang mempunyai tatapan tajam layaknya elang itu. Delano.

Didalam mimpi itu ia mengenggam tanganku secara perlahan. Bibirnya menampilkan senyum yang tidak pernah pudar sedari tadi. Ia mengenakan baju putih bersih, sorot matanya berkilau layaknya berlian terkena cahaya.

Kami dalam diam namun tangan kami saling berpegang sangat erat. Aku berharap itu bukanlah mimpi, sebab baru kali ini aku bisa lama lama menatap mata Delano yang sedari dulu aku tidak berani menatapnya. Tatapan mata yang tajam namun tidak membuat ku takut sama sekali, malahan dengan tatapan itu aku bisa melihat begitu tampan nya laki laki yang berada dihadapanku itu.

"Kenapa natap aku kaya gitu Nad?" Tanyanya tiba tiba membuatku mengerjapkan mata dan membuang pandangan ke segala arah.

"Mmm.. Engga. Mmm.. Kamu mau kemana pake baju putih putih gini?" Tanyaku saat itu, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Aku mau main."

Saat ia mengatakan itu sontak aku terkekeh pelan membuatnya memanyunkan bibirnya kesal.

"Main apa ha?" Tanyaku yang masih terkekeh melihatnya seperti ini.

"Main banyak. Petak umpet, tanya jawab, nyebrangin jembatan, dan masih banyak lagi. Dan yang jelas ujungnya akan indah." Lalu dia tersenyum sangattt manis, membuatku tertegun.

"Aku boleh ikut kan?" Tangan kami yang masih berpegangan sempat terguncang saat aku memohon agar diajak main dengan cara loncat loncat layangnya anak kecil sedang merajuk. Dia tetap tersenyum, disitu aku bingung, ntah kenapa rasanya aku tidak ingin berpaling menatap wajah laki laki itu. Seolah ia mempunyai magnet yang cukup kuat.

"Gaboleh Nad. Kamu disini aja, kamu harus temenin Mama sama Papa kamu, kamu harus sekolah, kamu harus bangun."

Aku menghembuskan nafas berat. Kembali menatap wajah itu, dia terlihat sangat tampan saat ini, ntah sepertinya aku ingin tetap menatapnya seperti ini.

"Terus kamu gimana?"

"Aku akan baik baik aja, asalkan kamu janji sama aku."

"Janji apa?"

"Janji buat bangun dan kamu harus bahagia."

"Sama kamu kan? Iya aku akan bahagia, asal kamu ada."

"Nad." Saat ini dia tengah menelungkup wajahku dengan kedua tanganya, membuat pipiku sedikit mengembung. "Ada atau gak ada akupun kamu harus bahagia, mau janji kan?" Wajahnya yang terlalu dekat membuat jantungku tidak bisa diajak kompromi.

Aku mengangguk semangat. Karena saat itu aku yakin Delano akan tetap bersamaku, dia akan tetap disini, menjagaku dan menemaniku sampai kapan pun.

Dia tersenyum simpul, lalu kembali mengenggam tanganku.

"Jaga hati aku buat kamu. Aku sayang sama kamu Nadine."

"Aku juga sayang sama kamu Delano."

Kami berdua sama sama tersenyum dan saling bersitatap. Lalu kemudian genggaman tangan kami mengendur, Delano seolah mundur secara perlahan membuat senyumku berubah menjadi raut wajah panik.

"Del! Mau kemana kamu?." Dia diam tapi masih tetap tersenyum, lama kelamaan dia menjauh dan menghilang layaknya disembunyikan oleh cahaya yang tiba tiba saja muncul.

"Delano.. Delanoo!!!."

**

Saat semua orang termasuk aku menatap seseorang yang saat ini masih berdiri diambang pintu sambil memegang sebuket bunga mawar berwarna hitam pekat.

Aku tidak bisa lepas dari tatapan mata itu. Tatapan seseorang yang mampu menguatkan ku untuk bangun dari tidur panjang yang sebenarnya terasa melelahkan.

Tapi saat beralih menatap wajahnya membuatku mengerutkan dahi.

"Dikta?." Suara serak itu berasal dari mulut Alina. Lalu aku kembali menatap laki laki itu. Alina benar itu Dikta kakak kandung Delano.

"Lo udah?." Lanjut Alin, sebelum selesai bicara laki laki itu berjalan mendekati kami lalu meletakan bunga itu diatas lemari disampingku.

"Gimana kondisi lo Nad?" Tanyanya tiba tiba membuatku sadar akan suara itu. Aku menatapnya lalu tersenyum.

"Gue gak papa kok. Delano mana?" Tanyaku. Sebenarnya hati ku sakit saat menyebutkan nama itu, ntah kenapa rasanya sesak sekali.

"Delano.. Dia lagi main." Ucap laki laki itu.l

"Main kemana?."

"Mmmm nanti kalo lo udah sembuh gue kasih tau dimana Delano."

Aku mengangguk ragu, padahal yang aku inginkan adalah melihat Delano saat ini.

*

Terkadang takdir bisa membuat orang lupa akan betapa indahnya saat kita menjalaninya dengan sabar. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya mengetahui definisi lebih rinci apa itu takdir. Yang kutau hanya takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.

Jadi, secara ilmiah Takdir akan datang pada setiap manusia yang berasal dari -Nya.

Mencintainya. Apa itu takdir? Jelas.

Tapi yang aku belum bisa cerna adalah tidak semua cinta akan berlabuh pada apa yang kita inginkan, sebab kembali ke awal, akan adanya Takdir.

Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang. Saat ini ada Bi Inah, Alina, Nono. Jangan tanya padaku dimana orang tua ku. Mereka lebih memilih rapat penting dengan pejabat pejabat luar negeri dibanding menjemputku.

Yang masih membuatku sedih adalah Delano sama sekali tidak menjengukku dan menjemputku sekarang ini.

Rasa sesak yang beberapa hari ini aku rasakan mampu membuatku menangis seketika tanpa orang lain tau apa alasanya.

"Nad." Alina menepuk pundaku pelan saat aku sedang terdiam duduk diatas ranjang, sembari menunggu Bi Inah membereskan baju bajuku.

Aku beralih menatap Alina. "Hmm.." Gumamku pelan, lalu kembali menatap kesembarang arah. Ntah apa yang sekarang ada difikiranku. Perasaanku terasa tidak enak untuku yang seharusnya aku senang saat ini karena diperbolehkan pulang.

"Mikirin Delano ya?." Tanya Alina saat sekarang dia sudah duduk disampingku. Tatapanku sama sekali tidak beralih menatapnya. Dari ketinggian 9 lantai ini aku bisa melihat kebawah betapa ramainya kota ini. Dan itu yang menurutku menarik saat ini.

"Mungkin." Jawabku singkat.

Saat itu juga ada seseorang yang memasuki ruangan ini. Seseorang yang mengenakan celana hitam dan baju abu abu polos itu tampak tersenyum manis saat melihatku. Akupun dengan senang hati membalasnya. Ia membawa sebuket bunga mawar hitam lagi. Padahal sejak kapan aku suka bunga mawar hitam?

Ntah setiap kali aku menatap mata itu seolah hatiku berdegup sangat kencang. Tatapan yang selama ini aku yakini adalah tatapan seseorang yang mencintaiku. Sungguh rasanya sesak sekali. Seolah ingin menangis tapi tidak tau apa alasanku menangis. Bukankah itu gila?

"Gimana kondisi kamu Nad?" Tanya laki laki itu saat mulai menghampiriku. "Nih." Lalu menyerahkan bunga itu padaku.

"Udah boleh pulang kok kak." Aku tersenyum senang, lalu menerima uluran bunga itu. "Makasih."

"Syukur lah." Dia tersenyum. Mirip dengan Delano. Jelas. Dia kakaknya.

"Non. Sudah beres semua, ayo pulang biar saya cari taxi didepan." Ujar bi Inah sambil membawa tas berisi baju bajuku.

"Eh gausah Bi. Aku bawa mobil, biar aku yang antar." Ujar Dikta tibatiba.

"Oh yaudah. Makasih ya Dek."

**

*plis jangan marah karena saya kelamaan updet:(
Sedikit curhat. Saya aslinya pusing mau endingnya gimana:'
Tp gapapa deng tetep seperti pemikiran awal. Endingnya bakalan ......

Next-

DelanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang