#1

337 16 45
                                    

Shane melangkahkan kakinya menuju kumpulan manusia yang sedang menikmati waktu istirahat. Matanya meneliti setiap sudut, berharap menemukan bangku kosong untuk tempat ia makan. Sedangkan ditangannya sepiring nasi goreng dan segelas es teh segar berusaha ia genggam dengan baik dan terlindung dari gerombolan anak yang berlalu-lalang.

Ketika mendapati satu titik, ia bernapas lega, kemudian didudukinya sebuah bangku yang terletak di pinggir kantin. Meja di sana sudah terisi oleh tiga anak laki-laki. Tapi ia tidak perduli, yang penting ia bisa duduk untuk menikmati makanannya.

Meja itu terdiri dari enam bangku, masing-masing tiga bangku saling berhadapan. Shane duduk di bangku paling pojok, berselang satu bangku antara cowok di sebelahnya. Berusaha tidak memerdulikan tatapan aneh dari mereka, ia menenangkan diri dengan es tehnya. Hari pertama yang buruk, pikirinya. Harusnya ia bisa belajar untuk bersosialisasi dengan cepat.

Ia baru saja ingin menggeser gelas berisi es tehnya untuk melanjutkan makan. Tapi kesialan terjadi. Gelas itu oleng dan hampir jatuh. Shane berhasil menangkupnya sebelum benar-benar jatuh dan menumpahkan semuanya. Tapi tetap saja sebagian air itu tumpah, mengenai jari-jari tangannya. Langsung saja ia merogoh sakunya, mendapati sebuah sapu tangan dan membersihkan tangannya yang terkena tumpahan es teh.

"Ngantri, Jov?" suara di sebelah membuatnya mendongak, mendapati satu cowok yang datang membawa sepiring mie ayam. Seketika itu juga, tubuhnya menegang.

"Iya nih, gila tuh cewek mesen satu mangkok aja bawel banget. Sampe Pak Amang kebingungan." cowok itu menjawab, lalu duduk di sebelah Shane, sempat matanya melirik cewek itu, membuat dahinya berkerut. Tak lama setelah itu, Shane berdiri, membiarkan sisa nasi gorengnya di atas meja.

"Itu cewek, siapa?" tanyanya pada Gio, teman sekelasnya. Sedangkan Gio hanya menjawab dengan kedua bahunya yang terangkat.

- - -

Shane meneliti papan bertuliskan X-1 di atas pintu. Sejenak, ia meyakinkan diri kalau dirinya tidak salah memasuki kelas.

Duduk sendiri memang tidak enak, sedangkan di sekelilingnya para murid sudah mendapatkan teman kelompoknya.

Ia menghela napas. Tangannya meraih iPhonenya, menyambungkan earphone di telinganya, lagu Love You Goodbye milik One Direction pun mengalun di telinganya. Sejenak berhasil membuat hatinya tenang, sekaligus mengisi kekosongan yang ada.

Matanya terpejam, meresapi tiap lirik yang dinyanyikan merdu oleh grup penyanyi favoritnya. Mendadak, ia teringat sesuatu. Sekejap matanya terbuka, Shane melirik jari tangannya, kemudian berdiri dan melepaskan earphonenya secepat kilat. Kakinya berlari menuju tempat yang sempat ia kunjungi, ia melirik arloji di tangannya. Tiga menit lagi bel masuk berbunyi. Ia harus cepat. Dan berharap benda itu masih ada di sana.

Kakinya berhenti berlari. Napasnya terengah-engah. Otaknya dengan cepat berusaha mengingat meja mana yang ia tempati sebelumnya. Keramaian kantin membuatnya tidak bisa mengenal setiap meja dengan baik. Kakinya kembali melangkah, meneliti setiap meja yang mungkin saja sama. Pikirannya kalut. Ia sudah mencari, tapi barang itu tidak ada. Mencari ke meja lain, tidak ada. Di bawah kolong meja dan kursi, juga tidak ada. Shane menarik rambutnya ke belakang dengan frustasi, memejamkan matanya. Lagi-lagi ia kehilangan benda itu. Benda paling berharga yang selalu ia jaga dengan baik. Dulu ia sempat hampir kehilangan benda itu, saat itu ia benar-benar sedih. Tapi beruntung seseorang menemukannya dan berbaik hati mengembalikan benda itu padanya. Tentu saja, waktu itu orang yang menemukannya adalah teman dekatnya, yang juga tau kalau benda itu sangat berharga baginya. Tapi sekarang, benda itu benar-benar hilang. Ia menggerutu. Sial sial sial! Kalau saja ia tidak ceroboh, benda itu pasti masih melingkar di jarinya.

Pandangannya merabun. Ia tidak boleh menangis. Ia harus mencari lagi. Tidak perduli kalau dia akan terlambat masuk kelas. Keadaan kantin sudah mulai sepi, bel berbunyi. Menyisakan dirinya dengan seorang pembersih.

"Pak, tadi bapak beresin meja yang di sana ga?" tanya Shane, tangannya menunjuk meja yang dimaksud. Tak sadar ia telah menggigit bibirnya karna takut akan jawaban bapak itu yang tidak memuaskan.

"Oh, anu, iya saya yang beresin. Emang kenapa, dek?"

"Bapak liat cincin warna silver di sana?" Shane makin gelisah, hingga sang bapak menggeleng, ia tak sadar setetes air mata sudah mengalir keluar.

"Maaf dek, bapak ga liat. Nanti kalau bapak nemu, pasti tak balik'e," mendadak bapak itu ikut prihatin melihat Shane.

Shane menggumamkan terimakasih. Dengan cepat ia mengusap matanya yang basah. Pikirannya kacau, hingga tak sengaja ia telah menabrak punggung seseorang. Ia mendongak, tubuh tegap di depannya menoleh ke belakang, membuatnya bertambah panik. Dan panik itu semakin menjadi ketika melihat wajah pemilik tubuh tegap tadi.

"Lo...?"

- - -

Shane menyesap minumannya. Senyum kecil tersungging di bibirnya ketika menatap cincin yang melingkar dengan indah di jarinya. Ia kemudian mendongak, menatap seorang cowok yang sudah lama tak ia temui sejak pindah ke Jakarta. Rambut hitamnya tetap sama, hanya jambul kecil yang kini melengkapi penampilannya. Tapi wajahnya tidak banyak berubah, alisnya masih tebal, tatapannya memang tajam, tapi sebenarnya hatinya lembut. Hanya orang dekat yang bisa merasakan tatapan lembutnya.

"Lo masih sama ya,"

Shane lagi-lagi tersenyum. Dipandanginya sosok itu dalam diam.

Hingga sebuah suara muncul dari bibir pinknya.

"Masa sih? Harusnya lo tuh bilangnya: lo makin cantik ya, Shan. Gitu!" mereka berdua tertawa. "Lo juga, masih sama." lanjutnya.

"Iya deh, makin cantik. Makin tinggi. Duh, hampir sama deh tinggi kita. Padahal kan dulu lo masih sepundak gue,"

Shane melotot, tapi senyuman tetap bertahan di wajahnya.

"Thanks ya, Jov."

Jovi mengangkat sebelah alisnya. "Buat?"

"Buat nemuin cincin gue untuk yang kedua kalinya."

Jovi tersenyum. Terpintas sebuah memori di pikirannya, membuat senyumnya makin mengembang.

Seorang anak perempuan yang menangis setelah kehilangan benda berharganya. Awalnya Jovi kecil hanya diam, tidak mengerti kenapa benda sekecil itu begitu berharga. Tapi sebagian hatinya juga tidak tega melihat anak perempuan di depannya terus menangis. Hingga ia berusaha mencari benda itu hingga dapat, dan mendapatkan juga senyum di wajah sang anak perempuan.

"Sama-sama."

Hening. Keduanya hanya diam, larut dalam kesibukan masing-masing. Entah kemana pikiran mereka, mungkin juga larut dalam memori kecil yang kembali muncul.

"Lo apa kabar, Shan?" suara Jovi membuyarkan keheningan, membuat Shane mendongak. Ia membetulkan posisi duduknya.

"Baik," jawab Shane, berusaha menampilkan senyum terbaiknya. "Lo?"

"Baik juga. Uhm," Jovi menggaruk tengkuknya, mendadak suasana menjadi canggung. "Lo kenapa pindah ke Jakarta?"

Shane menyesap minumannya secara perlahan. Lalu kembali menatap Jovi. "Karna cuma dengan ikut Om, gue bisa sekolah lagi."

"Lo ga marah sama gue kan?"

Shane terkekeh. "Marah? Marah kenapa?"

"Karna waktu itu gue-"

"Ga kok. Itu semua ga ada hubungannya sama sekali dengan itu. Justru setelah pindah ke Jakarta, gue malah kangen sama lo."

Hening lagi. Kali ini musik jazz menemani kesepian diantara mereka.

Tanpa sadar, sebuah rasa ketenangan muncul dalam hati Jovi. Perasaan rasa bersalah yang dulu melingkupinya perlahan menguap, digantikan oleh kehangatan ketika melihat senyumnya.

Sebuah senyum yang sangat ia sukai. Hanya ia sukai jika senyum itu adalah ia yang menciptakannya.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang